Hanif Ys
 
Ruyati binti Satubi, yang beralamat di Kampung Ceger, Rt 003/01 Kecamatan Sukatani Kabupaten Bekasi adalah seorang tenaga kerja yang dieksekusi mati oleh Pemerintah Arab Saudi karena kasus pembunuhan dan Darsem akan mendapat hukuman yang sama, jika ia gagal membayar diyat (uang darah) sebesar 2 juta riyal (US $ 547.000 ).

Tidak seperti Ruyati, Darsem mendapat permintaan maaf dari ahli waris korban setelah melakukan negosiasi yang melibatkan Kedutaan Besar Indonesia, Islah Lajnah (mirip dengan Komisi Yudisial) dan gubernur  Riyadh termasuk juga peran seorang donor Arab Saudi yang meminta anonimitas memberikan 1 juta riyal untuk Darsem.

Para lawyer kita mungkin sedikit yang tahu tentang hukum di Arab Saudi. Dalam hukum Arab Saudi, bahwa kejahatan dibagi menjadi dua kelompok : Tetap dan ta’zir. Yang pertama mengacu pada kejahatan yang hukumannya sudah diatur oleh Alquran tanpa campur tangan manusia, seperti Pembunuhan, perzinahan, pencurian, perampokan dan  mabuk. Hukuman untuk kelompok kedua (ta’zir) adalah kejahatan yang diputuskan oleh ulama kerajaan setelah konsultasi, pakar hukum dan masyarakat adat.

Dalam kasus pembunuhan, si pembunuh harus dihukum mati sebagai retribusi yang sama (qisas). Tapi tidak seperti empat lainnya (perzinahan, pencurian, perampokan dan  mabuk). Untuk kasus pembunuhan, si keluarga korban yang dibunuh bisa memaafkan pelaku berdasarkan Qur’an surat al-Baqarah ayat 178. Bahkan, Alquran menegaskan bahwa pengampunan adalah bantuan dari Allah Yang Mahakuasa. Tuhan berkata, “Jadi siapa pun yang maaf dari saudaranya, membiarkan [maaf] diikuti dengan cara yang baik dan biarkan [orang diampuni] membayar [uang darah] dengan cara yang baik [juga].

Itu adalah keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, jadi baginya siksa yang pedih. Uang tebusan itu setara dengan 100 unta. Jadi, jika harga unta 2000 riyal, maka Darsem harus membayar 100 unta x 2000 riyal = 2 juta riyal.

Berdasarkan school of law yang berlaku (dikembangkan dan dipatuhi ) di Arab Saudi,  bahwa pembunuhan dikategorikan sebagai qatl bil AMD (pembunuhan yang disengaja) dan qatl ghair AMD (tidak disengaja pembunuhan / pembunuhan).

Tentu saja, hukuman yang berbeda. Pembunuhan dapat dinyatakan disengaja atau tidak berdasarkan pada bukti dan kesaksian saksi. Artinya hukuman itu dapat dibedakan berdasarkan sifat dari pembunuhan dan bukti.

Mengacu pada kasus Ruyati dan Darsem, ada tiga hal menarik yang bisa kita amati. Pertama, dalam pra-Islam tradisi Arab, setiap kejahatan yang mengakibatkan darah dianggap sebagai masalah keturunan jika melibatkan suku nomaden dan suku lain tanpa aturan yang jelas. Islam kemudian mengatur qisas, yang diterapkan untuk non-anggota suku dan klan. Qisas itu dimaksudkan untuk menciptakan kehidupan yang damai.

Oleh karena itu, hukum Islam memberikan ruang bagi grasi terhadap para pelaku dalam pertukaran untuk hukuman mati. Sementara beberapa negara mencoba untuk menyingkirkan hukuman mati, Nabi Allah telah ditangani itu berabad-abad lalu. Diriwayatkan oleh Abu Huraira, Rasul Allah berkata, “Allah tertawa pada dua [tubuh].

Salah satunya adalah pembunuh, namun keduanya masuk surga. Yang laki-laki adalah berjuang di jalan Allah dan kemudian dibunuh [ia masuk surga]. Kemudian si pembunuh bertobat dan masuk Islam dan menemukan kemartiran [masuk surga terlalu]:. Memberikan ruang untuk pengampunan kepada para pelaku, pertobatan akan membuatnya lebih baik. Untuk alasan itu, qisas tidak berlaku jika, misalnya, dari 10 ahli waris, satu orang memilih untuk memaafkan dihukum.

Kedua, KUHAP Arab Saudi adalah manifestasi dari fiqh Hanbali seperti diuraikan dalam bentuk undang-undang. Tidak seperti di Indonesia, Kode Acara Pidana Arab Saudi  mengandung banyak jurisprudences. Jadi, jika Anda adalah seorang pengacara litigasi, Anda harus menghafal ayat-ayat al-Qur’an, hadis (tradisi nabi) dan ribuan jurisprudences yang telah di tempatkan selama berabad-abad. Di Arab Saudi, kekuasaan kehakiman merupakan bagian dari kerajaan, dengan menteri keadilan yang memimpin Mahkamah Agung.

Ketiga, sebagian besar kasus pidana yang melibatkan warga negara Indonesia terjadi dalam ruang yang sangat pribadi. Kita tahu pembantu rumah tangga bekerja di sektor domestik di mana perlindungan hukum yang rapuh dan sulit.

Dalam kasus Darsem, pembunuhan itu terjadi sebagai pertahanan diri terhadap upaya pemerkosaan. Masalahnya, lokus delictinya adalah ruang pribadi.

Selanjutnya, otopsi pada tubuh seorang Muslim harus dilakukan oleh seorang dokter Muslim. Pemeriksaan saksi atau terdakwa harus disertai oleh petugas dan pengacara dari jenis kelamin yang sama.

Kesimpulannya, Jika Pemerintah tanggap dan peduli masalah perlindungan TKI di luar negeri masalahnya akan dapat diselesaikan dengan baik, dan hukum yang berlaku di Arab Saudi tidaklah kejam seperti apa yang dipahami orang saat ini. Jadi jelas sekali ini adalah semata-mata karena kelalaian dan  ketidak pedulian Pemerintah Indonesia dalam upaya perlindungan para TKI kita di Arab Saudi termasuk juga yang ada di negara-negara lain.

Selain itu pengacara yang menguasai dibidang syariah sangat minim. Artinya tidak memilik pengacara yang handal  dalam bidangnya, khususnya yang memiliki latar belakang syari’ah. Khusus untuk ini merupakan tantangan para sarjana-sarjana syari’ah agar peran dan penguasaannya di bidang lawyer mumpuni dan berstandar umum.

Sebaiknya, Indonesia dapat belajar dari kasus Sarah Balabagan, seorang pelayan Filipina yang dijatuhi hukuman mati di Uni Emirat Arab enam tahun lalu.

Berkat lobi presiden Fidel Ramos, Syeikh Zaed bin Sultan an-Nahyan meminta keluarga korban untuk mengampuni Balabagan. Dan pemerintah Filipina mengumpulkan uang untuk membayar denda. Balabagan ditetapkan gratis di terakhir.

Mudah-mudahan, Ruyati adalah warga negara Indonesia terakhir yang dieksekusi mati di Timur Tengah, dan  kita berharap Darsem dan kawan lainnya bisa bebas dari hukuman pancung.


posted on: Kompasiana
 
Di tengah kontroversi kabar  antara moratorium dan tidak pengiriman Tenaga Kerja Indonesia di sektor informal, akhirnya pemerintah Arab Saudi melalui kementrian tenaga Kerja mengumumkan penghentian penerbitan visa kerja sektor informal untuk Indonesia dan Pilipina. Pengumuman ini disampaikan oleh Menteri Tenaga Kerja Arab Saudi Hattab Al Anazy Rabu kemarin ( 29 Juni 2011 )seperti dilansir harian berbahasa arab Al Watan. terhitung sejak hari Sabtu 02 Juli kementrian tenaga kerja sudah tidak melayani  pengajuan visa untuk indonesia dan pilipina. Namun keputusan tersebut hanya berlaku untuk pengajuan domestic worker visa (TKW dan supir rumah tangga) dan bukan untuk visa pekerja di sektor formal.

Pengumuman tersebut berkaitan dengan keputusan Indonesia menghentikan sementara pengiriman TKW yang rencananya mulai berlaku per tanggal 1 Agustus 2011, karena desakan masyarakat menyusul kasus-kasus lemahnya perlindungan tenaga kerja di negeri minyak ini. Disisi lain masih ada sekitar 120 ribu visa yang sudah terbit dan terkirim ke Jakarta sampai saat ini belum terproses. Menurutnya keputusan ini juga berkaitan dengan animo sebagian masyarakat untuk membuka rekrutmen dari negara yang lain seperti Ethiopia, Nepal, Kenya dan Eriteria.

Beberapa bulan yang lalu pemerintah Pilipina mengajukan persyaratan yang dinilai tidak masuk akal oleh keluarga Saudi seperti akomodasi yang harus diberikan pada pembantunya, dari ukuran kamar, konsumsi listrik, libur sehari selama satu minggu dan gaji bulanan $400. Namun yang terakhir pemerintah Arab Saudi hanya menyetujui gaji sebesar $ 210. Tarik ulur kesepakatan itu sampai saat ini tak membuahkan MoU baru dari kedua belah pihak.

Pemerintah Pilipina dinilai lebih tegas dan selektif dalam mengirim tenaga kerjanya ke luar negeri. Sangat jarang sekali ditemukan kasus-kasus kekerasan terhadap pembantu berkebangsaan Pilipina di Arab Saudi. Jumlah mereka tidak sebanyak pembantu  Indonesia, namun mereka bisa berinteraksi antara satu dan lainnya dan berhak berada di luar rumah untuk libur selama sehari dalam seminggu. Pemerintah Pilipina juga melalui konsulernya sangat reaktif terhadap persoalan yang dihadapi tenaga kerja mereka. 


Indonesia..?
 
Bertepatan dengan musim haji beberpa bulan yang lalu, kitapun pernah mendengar berita yang juga cukup menyesakkan dada, yakni terbunuhnya Kikim Komalasari, dimana mayatnya sempat ditemukan di tempat sampah setelah diduga diperkosa oleh pelaku yang tak lain adalah majikannya sendiri. Kita hanya bisa mengelus dada saat menyadari bahwa TKI-TKW hanya dijadikan komoditas dari pada layaknya manusia yang seyogyanya dijaga hak-haknya. Belum tuntas kontroversi antara moratorium dan tidak pengiriman TKW ke Arab Saudi pasca meninggalnya Kikim, muncul kasus baru yang menimpa Sumiati, TKW asal Dompu yang disiksa majikannya hingga mengalami luka serius di bagian muka dan sekujur tubuh serta sempat menjalani operasi paru-paru akibat kekerasan yang dilakukan majikannya. Pengadilan tingkat pertama Jedah memvonis majikan dengan 3 tahun kurungan penjara. Sayangnya belakangan terdengar kabar bahwa terdakwa pelaku penganiayaan terhadapa pembantunya itu kemudian divonis bebas setelah mengajukan banding pada mahkamah tingkat 2 di kota Mekkah. Lagi-lagi kabar miris ini menggambarkan bahwa diplomasi dan advokasi perlindungan kita memang amat lemah kalau tidak dibilang mandul.

Dari dua kasus tersebut sebenarnya pemerintah atas desakan masyarakat sudah berkeinginan melakukan moratorium pengiriman TKW ke Negara sumber minyak ini, sayangnya pertimbangan remittance dari keringat babu yang mencapai angka $ 7 Milliar pet tahun tersebut ditengarai membuat pihak-pihak yang mestinya bertanggung jawab bergeming dan tetap “keukeuh” mengeruk keuntungan dari keringat orang yang dengan bangganya mereka sebut “pahlawan Devisa”. Sekarang kasus Ruyati telah menggugah  perasaan ribuan bahkan mungkin jutaan orang yang prihatin dengan rapuhnya diplomasi ketenagakerjaan kita.

Kejanggalan di Depnakertrans
Pasca dua kasus enam bulan yang lalu yang menimpa Kikim dan sumiati, sebenarnya sudah ada kejanggalan yang jika kita telisik lebih jauh terasa aneh dan membingungkan. KJRI Jedah dan KBRI Riyadh sudah mengeluarkan persyaratan formal bagi calon pengguna jasa yang ingin merekrut TKW dari Indonesia dengan memberlakukan sistem kualifikasi. Hanya calon pengguna yang dinyatakan qualified yang boleh menggunakan jasa tenaga kerja dari Indonesia, jika tidak bisa meyertakan persyaratan-persyaratan dimaksud, Perjanjian Kerja (PK) antara pengguna jasa dan calon tenaga kerja tak bisa disahkan oleh pihak KJRI-KBRI. Artinya visa kerja tanpa pengesahan kontrak kerja antara pengguna jasa dan calon tenaga kerja oleh KJRI-KBRI tidak bisa diproses di Depnakertrans. Persyaratan-persyaratan itu antara lain :
- Menyertakan surat kelakuan baik dari Kepolisian setempat.
- Membuat surat pernyataan akan memberlakukan dengan baik calon tenaga kerja yang disahkan oleh pihak pemerintah yang berwenang dan menyertakan daftar anggota keluarga dengan foto masing-masing anggota keluarga.
- Memiliki penghasilan minimal SAR 6000 (sekitar 15 juta) per bulan untuk 1 tenaga kerja.
dan syarat-syarat lain yang lebih detail yang tidak bisa saya paparkan disini.
Kenyataannya pasca diberlakukannya PK baru untuk visa kerja non formal yang dikirimkan melalui PJTKI hampir seluruhnya tidak disertai dengan Perjanjian Kerja yang disahkan melalui perwakilan RI baik di Jedah atau Riyadh. Karena hampir seluruh calon pengguna jasa keberatan dengan syarat-syarat yang mereka anggap "konyol". Ini yang kemudian menjadi pertanyaan, Bagaimana mungkin visa tanpa kontrak kerja dapat di proses di Depnakertrans.? Selidik punya selidik ternyata ada main mata antara pihak PJTKI dan "oknum" di departemen ini. Istilah tahu sama tahu walau dengan PK aspal bisa saja diproses, yang penting ada pundi-pundi yang setimpal untuk tiap satu berkasnya. Yang penting tidak ada sidak dari KPK. Lagi-lagi oknum hipokrit seperti ini yang memanfaatkan kesempatan di atas kesempitan orang lain.

Usulan Absurd
Kepala BPN2TKI Jumhur Hidayat mengusulkan perubahan pola pekerja rumah tangga di Arab Saudi dari “live in” menjadi “live out”, tentu maksudnya menyediakan rumah penampungan bagi TKW yang ingin cuti mingguan. Usulan ini cukup rasional dan menjadi salah satu solusi meminimalisir perlakuan atau pelanggaran pengguna jasa terhadap point-point perjanjian kerja yang memang sering dilanggar oleh pengguna jasa sebagai pihak pertama. Ini berarti bahwa TKW memiliki kesempatan berinteraksi dengan agency dan sesama pembantu. Pengguna jasa diharuskan mempertanggungjawabkan secara berkala pada agency dimana TKW direkrut. Dengan demikian interaksi antara pengguna jasa dan TKW dapat terpantau. Sayangnya Jumhur mungkin tidak menyadari bahwa perekrutan TKW adalah otoritas internal keluarga di Saudi. Predikat “domestic worker” masuk dalam lingkup keluarga, dimana otoritas pemerintah di sana tidak bisa intervensi lebih jauh dalam urusan privasi keluarga. Di satu sisi, pola seperti ini sangat rawan trafficking, TKW bisa menjadi bulan-bulanan penanggung jawab pemilik penampungan, dijual dari pengguna jasa ke pengguna lainnya. Bisa jadi dipaksa untuk tetap bekerja walau kondisi fisik sudah tidak memungkinkan. Kasus-kasus seperti ini sering terjadi di kantor-kantor yang membuka layanan pergantian majikan. Tak sedikit TKW yang awalnya berharap mendapatkan majikan lebih baik ternyata justru menjadi komuditas dagang dan bahkan terkadang tanpa upah.

Lain halnya jika pola yang ditawarkan berupa rumah singgah yang dimediasi langsung oleh pihak pemerintah dalam hal ini kedutaan RI atau pihak konsulat. Pengelola tentu saja bukan orang Saudi tapi langsung ditunjuk pihak kedutaan dan bertanggung jawab langsung pada bagian perlindungan kedutaan. Tapi pola seperti ini nampaknya juga tak mungkin, mengingat system di sana takmemungkinkan warga non Saudi mengelola kantor layanan umum secara legal.

Lalu harus bagaimana.? Tentu bukan hanya moratorium, semestinya pengiriman TKW non formal dialihkan ke sektor formal khususnya tenaga medis yang selama ini didominasi warga Pilipina, Bangladesh dan Mesir. Karena di sektor ini perlindungan hukum jauh lebih baik. Hal yang tak mudah dilakukan karena harus mempersiapkan SDM dalam jangka waktu yang tak singkat dan harus ikhlas menyunat devisa yang konon kabarnya di peringkat kedua setelah migas.
 
Hukum pancung yang menimpa kepada Ruyati sepertinya bukan hukum pancung yang terakhir kepada para tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia yang bekerja di Arab Saudi. Tercatat masih ada sekira 23 TKW yang nasibnya dengan hukum pancung. Meski, misalnya, 23 TKW itu sudah dipancung satu per satu, itu tidak akan membuat pemerintah Indonesia menghentikan pengiriman TKW.

Kalau diselisik, kejadian yang menimpa Ruyati pada saat ini, pada tahun 2010 sudah pernah terjadi kasus serupa, di mana TKW asal Cianjur, Jawa Barat, bernama Kikim Komalasari ditemukan tewas di sebuah tong sampah Kota Abha, Arab Saudi. Kikim diduga dibunuh sang majikan setelah diperkosa. Kejadian yang demikian rupanya tidak dijadikan pelajaran oleh pemerintah, dan mungkin saja pemerintah menganggap itu sebagai hal yang biasa sehingga pemerintah tetap mengirimkan TKW ke Arab Saudi.
 
Pemerintah Indonesia meski ditekan dari banyak pihak untuk menghentikan pengiriman TKW ke Arab Saudi namun tetap tidak mendengar desakan itu bisa jadi pemerintah menganggap kejadian seperti Ruyati, Kikim Komalasari, dan kasus-kasus penyiksaan dan pembunuhan lainnya sebagai 1: 1.000. Artinya pembunuhan yang terjadi hanya terjadi pada satu TKW di antara 1.000 TKW lainnya. Jadi tidak semua TKW mengalami nasib seperi Ruyati atau Kikim Komalasari sehingga masalah TKW di luar negeri masih dianggap aman-aman saja. 

Ketika kasus yang menimpa Kikim Komalasari terjadi, pemerintah Indonesia pernah mempertimbangkan untuk menghentikan pengiriman TKW ke Arab Saudi. Namun bila pemerintah menghentikan pengiriman TKW ke Arab Saudi, pemerintah berpikir hal yang demikian akan berimbas kepada masalah lapangan kerja di Indonesia. Pergi Arab Saudi merupakan sebuah kesempatan lapangan kerja yang sangat mudah dan cepat. Bila itu ditutup tentu akan terjadi penyempitan lapangan kerja. Pernah tercatat, jumlah tenaga kerja Indonesia di Arab Saudi mencapai 1 juta, dan 750.000 adalah perempuan. Bayangkan bila sejuta lapangan kerja ditutup, tentu akan menyebabkan semakin banyaknya pengangguran dan berujung pada semakin beratnya beban negara.

Selain itu bila dihentikannya pengiriman TKW maka devisa negara akan menurun. Pada tahun 2006 para Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri selama setahun menyumbangkan devisa kepada negara sebesar Rp60 triliun. Dengan devisa itu mampu memberi makan kepada sekira 30 juta orang di Indonesia. Apa yang dihasilkan para tenaga kerja itu sebuah prestasi yang luar biasa sebab jumlahnya kedua terbesar setelah peringkat utama dari sektor minyak bumi dan gas (migas).

Masalah tenaga kerja keluar negeri memang sejak dahulu menjadi dilema bagi pemerintah. Di satu sisi pemerintah tidak mampu menciptakan lapangan kerja di dalam negeri, di sisi lain para tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri tidak mempunyai skill yang cukup. Skill dan pendidikan yang rendah itulah yang membuat para tenaga kerja tidak mampu membela diri. 

Arab Saudi Menolak Hukum Thogut 

Apa yang terjadi pada Ruyati merupakan sebuah keprihatinan bagi kita semua, lebih-lebih hukum pancung yang menimpanya hanya berselang beberapa hari selepas Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyampaikan pidato soal pentingnya perlindungan terhadap buruh migrant di markas ILO, organisasi buruh internasional, Jenewa, Swiss.

Pidato dengan tema Forging A New Global Employment Framework for Social Justice and Eguality dalam konferensi ILO itu dengan gagah SBY menyampaikan, buruh migran di Indonesia disebut sebagai pahlawan devisa dan sebagai pahlawan di rumah tangganya. Untuk itu SBY mengajak semua negara untuk memperhatikan dan memberikan pelindungan terhadap pelaku pekerja di sektor domistik atau rumah tangga. 

Apa yang terjadi di ILO itu, pemerintah Arab Saudi bisa saja mereka mendengar dan menyimak, namun apa yang disuarakan dari ILO itu tidak membuat Arab Saudi serta merta melaksanakan aturan-aturan itu.  Mengapa demikian? bisa jadi aturan-aturan yang datang dari Barat oleh Arab Saudi dianggap sebagai aturan orang kafir atau thogut sehingga sampai kapanpun Arab Saudi tidak mau meratifikasinya. Misalnya saja Arab Saudi tidak mau meratifikasi Konvensi PBB tahun 1990 tentang Perlindungan Hak-Hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya.

Kalaupun Arab Saudi menyatakan adanya aturan hukum internasional yang mengacu pada HAM, itu hanya lips service semata. Ketika pada Oktober 2010, Ketua MA Kerajaan Arab Saudi Saleh Bin Abdullah Bin Humeid berkunjung ke pimpinan MPR, ia mengatakan bahwa Arab Saudi sudah mempunyai organisasi HAM (Hak Asasi Manusia) yang melindungi seluruh tenaga kerja. Saleh Bin Abdullah Bin Humeid membuka pengadilan untuk menangani masalah tenaga kerja. Bila adalah masalah pada tenaga kerja, pemerintah Arab Saudi sudah membentuk lembaga tempat tenaga kerja mengadukan dan melaporkan, misalnya bila menghadapi masalah gaji atau pun kasus penyiksaan. 

Namun apa yang dikatakan itu terbalik dengan realitas yang ada. Dengan adanya kasus Ruyati menunjukan bahwa Arab Saudi dalam melindungi para tenaga kerja hanya sebatas konsep dan lips service semata. Akibat dari tidak bersedianya Arab Saudi mengikuti hukum dan aturan internasional tersebut maka Indonesia yang warganya tertimpa masalah di negeri itu mengalami kesulitan ketika mencoba menggunakan kekuatan hukum internasional. 

Bila Arab Saudi tidak sudi menggunakan hukum internasional dalam masalah tenaga kerja maka kita pun juga bisa mensiasati menggunakan hukum Islam. Misalnya dengan kapasitasnya sebagai ulama besar, Presiden Gus Dur menelepon Raja Arab Saudi ketika ada kasus TKW yang terancam hukuman mati. Berkat sosok Gus Dur sebagai ulama maka hukuman bagi Siti Zaenab, akhirnya dibatalkan.

Contoh lainnya adalah, meski Arab Saudi sudah jelas menggunakan nilai-nilai yang terkandung dalam agama Islam dalam masalah hukum, namun itu perlu kita jelaskan lagi pentingnya kesejahteraan dan perlindungan kepada para tenaga kerja sesuai dengan tuntunan Nabi, yakni sebuah hadits yang mengatakan,  "Bayarlah upah buruh sebelum kering keringatnya". Tidak hanya itu, kita paparkan kembali bahwa dalam syirah nabawiyyah banyak pengalaman Nabi yang membebaskan budak. Membebaskan budak ini dalam konteks sekarang adalah memberi perlindungan, pengayoman, kesejahteraan, cuti di hari libur, dan dianggap sebagai saudara sendiri kepada tenaga kerja.

Pendekatan-pendekatan secara hukum Islam inilah yang kurang dilakukan oleh SBY. Akibatnya satu persatu TKW dipancung dan menunggu hukum pancung.  

Ardi W
 
Picture
Tulisan ini dimuat di Kompas edisi 13 Mei 2011, di link :      
http://internasional.kompas.com/read/2011/05/13/10254223/Benarkah.Akan.Rayakan.HUT.Israel


Pagi ini secara tak sengaja saya tonton talkshow di sebuah televisi swasta tentang rencana kelompok Yahudi Indonesia yang berencana merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) Israel 14 Mei Sabtu besok. Saya termenung sesaat. Pertama yang ada dalam benak saya, apa benar ada Komunitas Yahudi di Indonesia? Kedua, Apa tujuan mereka merayakan HUT bangsa lain yang sampai saat ini tidak ada korelasinya dengan Indonesia?
Yahudi adalah sebuah bangsa sekaligus teologi yang belakangan selalu menimbulkan kontroversi karena sepak terjang dan sejarah pembantaiannya terhadap bangsa Arab di Palestina. Anehnya selama ini saya belum mendengar bangsa dan teologi ini tumbuh atau ada di Indonesia. Kenapa kemudian muncul berita akan ada perayaan bangsa Israel di sini? atau saya memang terlalu kuper sehingga saya tidak tahu bahwa Yahudi tidak hanya ada di sekitar Hebron dan sekitar bukit Zion.

nara sumber mengatakan bahwa tujuan komunitas ini ingin meredam kekerasan yang selama ini meningkat di Indonesia. Saya berpikir apakah mereka tidak salah tujuan..? bukankah dengan menyentuh sensifitas sebagian besar masyarakat yang tak simpati dengan sepak terjang Israel terhadap rakyat Palestina selama ini berarti menciptakan embrio kekerasan baru..? 

Mereka bisa saja berdalih menjunjung pluralisme di negara yang memeiliki heterogenitas tinggi ini. Tapi bukankah tidak harus dengan cara demikian (merayakan HUT Israel) dan kemudian dipublikasikannya. Sementara Indonesia sampai detik ini tidak meiliki hubungan diplomatik dengan Israel. Walaupun ada informasi bahwa kontak diplomatik dan organisasi sosial antara Jerussalem - Jakarta perlahan mulai dirintis, bukan berarti harus melukai perasaan mayoritas rakyat Indonesia yang masih geram dengan agresi mereka terhadap rakyat Palestina.

Kalau untuk tujuan meredam kekerasan, nampaknya mereka salah arah berkiblat. Kita semua paham bahwa sepanjang sejarah Zionisme yang ditabuh sejak akhir abad ke 19, selau diwarnai dengan pertumpahan darah dan kekerasan. Ribuan nyawa melayang oleh moncong senapan dan meriam Israel. Sementara mereka hanya mampu melawan dengan batu (baca: Intifadah). Pembantaian terhadap warga sipil selalu kita dengar melalui media. Ini catatan hitam yang tak pernah terselesaikan bahwa Israel sudah dan sedang melakukan pembersihan etnik yang dari perspektif apapun tak bisa dibenarkan.

Lalu apa untungnya mereka merayakan Hari Ulang Tahun Negara lain..? bahkan ulang tahun sebuah bangsa yang tak ada hubungan sama sekali dengan kita, baik aspek sosiologis, politik, kultur atau teologis. Dampak negatifnya lebih banyak, moderatnya jauh lebih besar dari manfaatnya yang nyaris tak ada.  

Aparat negeri ini sedang bersusah payah membangun stabilitas dan keamanan, kasus demi kasus masih belum terselesaikan. Negeri ini memang heterogen, tapi jangan dengan dalih demi pluralisme kita memantik api dan menyulut kegeraman baru. Harmoni antar umat memang harus kita junjung tinggi. Namun di saat stabilitas bangsa dan sendi keberagaman masih rapuh, rasanya tak layak melakukan hal-hal yang tak perlu.

Bukankah merayakan hari jadi Negara lain bisa mencoreng wajah bangsa sendiri bahkan mungkin dianggap makar?. Semoga coretan pendek ini menjadi pertimbangan agar keinginan sebagian kelompok tidak melukai kelompok yang lainnya.


 
 
Indonesia sebagai model pluralisme nampaknya harus dikaji kembali kelayakannya. Kekerasan yang berbau agama semakin sering kita dengar. Awal Februari lalu kembali menjadi catatan hitam betapa keberagaman dan ke Bhinneka-an kita semakin porak poranda, padahal Indonesia baru saja menggelar perhelatan dunia “Pekan Harmoni Antar-Iman Dunia” (World Interfaith Harmony Week), dimana tokoh lintas agama berkumpul bersama para negarawan.

Kekerasan di awal Februari masih terlalu hangat untuk dilupakan, dalam dua hari saja ada dua kejadian mengejutkan tentang disharmoni umat beragama di Indonesia. Pertama kasus cikeusik dimana sekitar 1000 massa menyerbu kediaman seorang yang yang diduga penganut dan pimpinan Ahmadiyah setempat, massa merusak dan membakar kediaman jamaah tersebut dan beberapa diantaranya harus terbunuh dengan sia-sia, ini masalah internal agama yang sebenarnya sudah lama menjadi PR pemerintah. Kedua kasus Temanggung yang dipicu oleh ketidak puasan massa atas vonis perkara penodaan agama di Pengadilan Negeri Temanggung yang hanya memvonis terdakwa penistaan agama dengan 5 tahun penjara, massa yang tidak puas kemudian bergerak dan membakar tiga gereja serta satu yayasan.

Kemarin kita kembali dikejutkan dengan meledaknya bom saat dicoba dijinakkan oleh polisi di Komunitas Utan Kayu yang kemudian dikenal dengan “Bom Ulil”, karena paket bom tersebut ditujukan buat pimpinan komunitas Ulil Abshar Abdalla. Lagi-lagi isunya kekerasan berbasis teologi dan agama. Ketidak puasan internal dalam agama yang memicu seseorang berbuat nekat bahkan mungkin tanpa nalar Liberalisme vis a vis radikalisme

Ironi yang tak perlu terjadi di negara yang konon penduduknya bisa hidup rukun dengan berbagai agama, ras dan etnik. Hal yang sebenarnya tak perlu terjadi di saat dunia mulai mengkampanyekan harmonisasi antar iman seluruh dunia, saat sebagian dunia barat mulai tertarik dengan keindahan Islam sebagai way of life

Ini masih menunjukkan bukti bahwa pemahaman pluralism belum mampu meng-cover sikap radikal beberapa kelompok yang tidak sepaham dengan lainnya, dengan Liberalis misalnya. Ini juga menjadi bukti bahwa ke Bhinneka-an kita yang ditanamkan sejak nenek moyang kembali rapuh dengan perlakuan beberapa orang bergaris keras. Menjadi bukti bahwa Indonesia tak lagi layak sebagai model tumbuhnya pluralism agama yang dibangun dengan susah payah oleh Indonesian pluralism founder.

Di Jaman Rasulullah sudah diatur tentang keberagaman beragama, beliau membuat piagam yang berisi penyatuan umat beragama, Islam, Kristen, Bahkan Yahudi ketika itu. Piagam yang kemudian dikenal dengan Piagam Madinah karena memang b erpusat di Kota Madinah ketika itu mengayomi kebersamaan umat, bahkan orang kafir yang tidak memerangi umat Islam bisa hidup rukun dan saling menghormati dalam bingkai Negara Islam yang berpusat di Madinah. Berjanji untuk tidak saling serang, untuk mempertahankan Negara yang sama namun tetap dalam agama yang berbeda.

Sejak zaman nenek moyang Indonesia sudah beragam dan terbiasa dengan perbedaan, kenapa baru akhir-akhir ini terjadi letupan? Kita tidak ingin menyamakan seluruh isi kepala tentang pemahaman beragama, yang beda biarlah beda dan jangan memaksakan kehendak agar orang lain turut mengiyakan apa yang kita pikirkan. Kenapa kita tidak memahami perbedaan secara kontekstual bahwa keberagaman adalah sebuah keniscayaan? Dimana letak keberagaman dan kerukunan kita?


Repost dari Kompasiana
 

Saya menonton VCD “wajah-wajah Islam Indonesia”—sebuah dokumentasi Metro TV. Saya juga baru saja usai membaca buku Ulil Abshar Abdalla Menjadi Muslim Liberal. Dan saya mengutip ini; “Islam sebetulnya lebih tepat disebut sebagai sebuah “proses” yang tak pernah selesai, ketimbang sebuah “lembaga agama” yang sudah mati, baku, beku, jumud, dan mengungkung kebebasan”.

Sebagaimana Ulil, saya pun memahami Islam sebagai “Rahmatan lil alamin”, agama yang membawa rahmat bagi seluruh semesta alam dan umat manusia; dan karena manusia bukanlah sebuah makhluk yang berdiam diri, tetapi organisasi yang bergerak dan berkembang, maka agama juga akan terus menyesuaikan diri dengan kebutuhan manusia. Dan Islam adalah agama semacam ini, agama yang hidup dalam setiap detak zaman—dengan zeit geist.

Tapi soalnya kemudian; ternyata kita terlalu lama larut dalam pemikiran yang dijaga ketat kaum ortodoksi, yang menekan kita untuk diam diri dan hanya menerima pengajaran dari mereka. Sebuah pola pengajaran yang mirip komando militer, yang tidak membuka ruang dialektika antara umat dan ulama untuk mengali dan menafsir Al-Quran dan Hadits secara kritis dan mendalam. Ia yang sering disebut Antonio Gramsci sebagai Hegemoni. Pemikir Partai Komunis Italia tersebut menulis: ada yang tak kelihatan dan telah digunakan secara halus oleh kekuasaan untuk menindas: aparat Ideologi. Mereka menjerat pikiran orang sehingga tidak mau melawan. Saya kira dari jerat seperti ini juga, orang semacam Jabir kemudian hadir dan menebar teror kehadapan kita.

Gempur Budi Angkoro alias Jabir — umurnya 27 tahun, ia pernah belajar di pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah selama beberapa tahun, hingga akhirnya pindah dan meyelesaikan pendidikanya di Pesantren Darusysyahadah, Boyolali, kemudian mendedikasikan ilmunya disana selama tiga tahun lamanya. Sampai pada suatu hari di tahun 2002 ia berkenalan dengan Nurdin M Top dan Dr. Azhari. Dari azhari, Jabir belajar bagaimana merakit bom. Dari Nurdin M Top dia menyakini ; ”Bukankah sejak terampasnya tanah dan kehormatan kaum muslimin baik di bumi Palestina, Afganistan, Kashmir, Chechnya, dan Bosnia telah menjadikan jihad sebagai fardhu ’ain,” Sebab itu bagi Jabir meledakan bom di hotel Marriot dan café Nyoman tahun lalu sebagai sebuah ibadah.

Jabir barangkali adalah seorang idealis yang percaya betul bahwa perintah gurunya adalah perintah Tuhan. Tapi bagaimana Tuhan dapat sekejam itu—memeritahkan umatnya untuk membunuh mahkluk ciptaannya sendiri, sementara Tuhan dalam salah satu firmanya berseru. “Barang siapa menyelamatkan nyawa satu orang, maka ia seolah telah menyelamatkan nyawa semua orang.” (quran, 5:32).

Ketika firman dilanggar, Jabir kemudian berdoa—selepas meledakan bom hasil racikanya di café Nyoman Bali atau hotel Marriot yang menewaskan puluhan orang—juga ada umat muslim diantaranya, yang meradang saat nyawa lepas dari tubuh, seakan sedang mengutuk kebrutalan yang ditebar orang semacam Jabir yang menganggap; ”Dengan peledakan, pengikut kebenaran memberikan contoh pengorbanan yang paling indah, berani mati guna membela agama....”

Saya tak tahu, adakah Tuhan membenarkan membunuh terhadap orang lain—seiman atau tidak seiman, sebagai dampak atau tujuan. Saya tak pernah tahu adakah Tuhan membenarkan umatnya bunuh diri—walaupun itu ”demi Tuhan” yang dia bela. Yang saya tahu Tuhan tak satu kalipun memerintahkan umatnya membunuh atas nama apapun—juga dirinya. Tuhan tak pernah membutuhkan pengorbanan umatnya untuk membelanya dirinya. Tuhan tidak butuh itu. Tuhan ada pemilik semesta alam, Tuhan lebih besar, lebih agung dari apapun. Tuhan bisa berkehendak, bahkan berbuat apasaja terhadap umat manusia dan alam semesta. Tuhan dapat menciptakan sekaligus menghancurkan sesuatu sekehendaknya dalam hitungan kurang dari dari satu detik.

Sungguh Jabir bukanlah orang yang cukup mengenal Tuhan, bahkan mungkin juga ia tak punya banyak keteguhan hati untuk terus bersama Nurdin M Top dan Azhari. Seperti juga korba-korban hasil bom racikannya. Jabir juga takut akan menghadapi kematian; ”Sesungguhnya perjalanan jihad penuh dengan onak dan duri, dibayangi rasa takut, kelaparan, dan hilangnya nyawa….” Di sebuah pagi yang tak begitu cerah pada 29 April lalu, sebuah pelor dari moncong senapang pasukan Detasemen 88 Polri menembus tubuhnya dalam sebuah pengerbekan, Jabir masih berharap kepada tuhan yang disebut setiap hari; “Ya Robbi..., masukkan hamba-Mu ini... ke dalam jannah abadi... bersanding dengan para bidadari....”. saya tak tahu bagaimana Tuhan dapat mengabulkan permintaaannya. Saya juga tak tahu adakah Jabir di jannah sekarang.

Jannah—surga, ia seakan menjadi akhir dari segalanya—Janah adalah tujuan, bahkan mungkin bagi orang seperti Jabir, juga Michel O’Conner—Jannah barangkali lebih besar dari Tuhan itu sendiri. Goenawan Muhamad dalam buku catatan pinggir 3—mengutif kisahnya dari kantor berita Reuter. O’Conner, pemuda 20 tahun yang tinggal di dekat Sedney, pada 31 Mei 1986 itu, baru saja memeluk agama Kristen. Dan dengan perasaan cemas namun berani, ia memotong tangannya yang bertato dengan gergaji listrik, sembari mengutif injil; “Jika tanganmu menistakanmu, potonglah”.

Bila setiap kali firman Tuhan diartikan secara tekstual seperti itu, maka akan selalu ada tangan yang terpenggal setiap menitnya atau akan banyak kepala yang berpisah dari tubuh setiap detiknya. Dan saya yakin tuhan yang kita sapa dengan agung berpuluh-puluh kali setiap hari tidak pernah punya bermaksud seperti itu. Tapi kita akan selalu menemukan orang seperti Jabir dan Michel O’Conner diabad 20 ini. Orang-orang baik yang ingin duduk di pangkuan Tuhan namun tersesat jalan.

Sebab itulah saat firman Tuhan ditafsirkan kita selalu membutuhkan metafora—dalam arti lain, firman Tuhan harus dilihat secara kontekstual. Juga bagi umat Islam. Kita memerlukan penafsiran Islam yang non-literal, subtansial, kontekstual, dan sesuai denyut nadi peradaban manusia yang sedang dan terus berubah, sebab Islam hidup dengan zeit geist.

Dan umat Islam—sekali lagi saya harus mengutif Ulil; ”Entitas sosial yang menyebut dirinya umat Islam harus berijtihad mencari formula baru dalam menerjemahkan nilai-nilai itu dalam konteks kehidupan mereka sendiri, sebab kehidupan manusia terus bergerak menuju perbaikan dan penyempurnaan. Dan umat Islam harus mengembangkan pemahaman bahwa suatu penafsiran Islam oleh golongan tertentu bukanlah paling benar dan mutlak, karena itu harus ada kesediaan untuk menerima dari semua sumber kebenaran”

Islam seperti dikemukan oleh Prof. Nur Cholis Majid adalah nilai generik yang bisa ada di agama lain, bahkan mungkin pada paham yang dikembangkan Karl Marx atau Adam Smith. Atau juga barangkali—untuk terakhirkalinya izinkan saya kembali mengutif Ulil; Islam memang bukan sebuah monumen mati yang dipahat dari abad 7 masehi, lalu dianggap sebagai patung indah yang tak boleh di sentuh tangan sejarah, atau malah Islam sesungguhnya adalah sebuah proses yang tak pernah selesai menuju sebuah kebenaran. Islam adalah sumber peradaban, bukan penyebar ketakutan.***


Edy Burmansyah

Dipublikasi; di Harian Batampos, 30 Juni 2006

 
Membaca tulisan Marzuki Ali tentang “TKI, Permasalah, antara Beban dan Kewajiban“, saya tertarik untuk menulis permasalahan ini dari sudut pandang yang lain, khususnya TKW (Tenaga Kerja Wanita) sektor informal di Arab Saudi yang dinilai paling banyak bermasalah. Saya ingin menyoroti sesuai kapasitas saya sebagai orang yang pernah menjadi praktisi langsung di lapangan. Saya pernah menjadi karyawan outsourcing di sebuah agen penempatan tenaga Kerja Arab Saudi -lebih dikenal dengan sebutan “Perwakilan” , entah apa maksudnya. Pekerjaan saya  menerbitkan dan menerima visa dari pengguna jasa –dalam hal ini majikan–, dan mengirimkannya ke Indonesia setelah melalui proses internal dengan melengkapi berkas-berkas yang harus dilampirkan, setelah itu -dibawah pressure pengguna jasa, saya harus mem-follow up sejauh mana perkembangan visa-visa kerja informal tersebut diproses hingga kedatangan sang pembantu.

Visa kerja sesuai aturan harus dikirim ke Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) di Indonensia bersama berkas lainnya, yaitu  pertama recruitment detail yang berisi detail permintaan tenaga kerja yang diinginkan pengguna, baik dari segi usia, asal daerah calon tenaga kerja, pernah bekerja sebelumnya atau tidak, serta ketrampilan-ketrampilan yang harus dimiliki calon tenaga kerja. Kedua, Otorisasi atau mandat dari pengguna jasa yang dikuasakan pada PJKTKI tertentu agar perusahaan tersebut dapat memproses calon tenaga kerja dari awal sampai keluar stamp job Visa dari Kedutaan Arab Saudi di Jakarta. Yang terakhir adalah Kontrak Kerja antara pengguna jasa dan tenaga kerja yang harus dilegalisir petugas Konsulat Jenderal Republik Indonesia  (KJRI) di Jedah atau Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) yang berkedudukan di Riyadh, tegantung wilayah kerja masing-masing.

Dari sinilah permasalahan mulai timbul, sejak minggu pertama kedatangan pembantu dalam setiap kelompok terbang selalu saja ada yang protes, baik dari pengguna jasa atau pembantu. Bahkan pernah dari airport waktu menjemput TKWnya langsung dibawa ke kantor karena dianggap tidak sesuai pesanan. Ini jelas kesalahan PJTKI yang memberangkatkan, karena tidak jeli membaca recuitment detail. PJTKI pun harus bertanggung jawab mengingat ada jaminan masa percobaan selama 3 bulan pertama. Namun selama sang pembantu masih ada keinginan untuk bekerja dan majikan bisa diajak kerja sama - walau sulit-  saya masih bisa membantu tetap bekerja pada majikan yang bersangkutan atau paling tidak dipindahkan pada orang lain yang membutuhkan. Masalah yang paling sering terjadi dari keluarga pengguna jasa. Seperti pelecehan seksual, kekerasan serta tak tahannya pembantu dengan “rewelnya” nyonya rumah. Cek cok dan perang mulut antara saya dan pengguna jasa menjadi hal yang lumrah setiap harinya (kok cek angele golek duwik).

Ketidaksiapan mental menghadapi budaya yang berbeda, menjadi penyebab utama timbulnya masalah. Tanpa ada maksud me-generalisir, karakter orang Saudi sebagaimana orang Arab pada umumnya memang keras, temperamental dan tak mau mengalah, khususnya mereka yang tinggal di luar kota-kota besar. Memahami karakter mereka secara umum yang merupakan satu keniscayaan sebenarnya tidaklah cukup. Ada faktor budaya lain yang mungkin belum pernah muncul ke permukaan atau menjadi pertimbangan kenapa kita harus menempatkan tenaga kerja informal ke negara ini. Orang Saudi sangat proteksionis, rumah mereka dipagari tembok tebal dan tinggi agar orang lain tak bisa melihat sisi dalam keluarga mereka dan dianggap aib. Seperti halnya larangan melihat wajah perempuan yang sudah dewasa di sana, bahkan pada saudara iparnya sendiri. Pintu rumah yang terbuat dari besi terkunci rapat, baik dari luar atau dari sisi dalam. Dengan kultur seperti ini rasanya  pelanggaran yang terjadi dalam rumah tangga menjadi sulit tersentuh atau terungkap ke permukaan. Itulah sebabnya kenapa banyak sekali TKW yang memilih bertaruh kabur dari rumah majikannya. Padahal kabur adalah taruhan yang sangat beresiko tinggi. Karena untuk mengadu pun susah, apalagi meminta perlindungan atau minta diantar ke kantor agensi dimana mereka direkrut. Maksud kabur tentu untuk meminta pertolongan dari nasibnya yang kurang beruntung mendapat majjikan yang tak humanis. Namun di tengah perjuangannya, dia bisa diperalat oleh orang lain karena dianggap “barang langka” untuk dinikmati manisnya. Hal lain yang dianggap pelanggaran, mereka anggap hal biasa. Memukul misalnya. Sebagian dari mereka menganggap bukanlah kekerasan dalam rumah tangga atau pelanggaran terhadap HAM, tapi mereka anggap sebagai pembelajaran. Anggapan yang aneh memang, tapi itulah kenyataan. Pernah sekali seorang teman yang bekerja di sebuah dept. store menemui TKW yang dipukul di depan orang banyak hanya gara-gara dia bertanya ada tidaknya bumbu masak ala Indonesia pada teman tadi dengan Bahasa Indonesia tentunya. Tak ada yang bisa menegur karena anggapan mereka hal itu menjadi otoritas majikan. Ini juga yang mendorong saya harus memutuskan resign dari pekerjaan, karena tak mampu membela nasib bangsa sendiri di bawah bayang-bayang sponsor Saudi.

Dari fakta di atas, minimnya pendidikan dan ketrampilan bukan satu-satunya pemicu timbulnya masalah yang dialami TKW.  Setiap mereka yang bermasalah selalu saya sempatkan bertanya, apakah mereka berangkat prosedural dan mengikuti bekal ketrampilan di Balai Latihan Kerja, tak satupun yang mengatakan tidak, bahkan sebagian TKW menunjukkan sertifikat pelatihannya. Di sisi lain saya sering menjumpai pekerja sektor rumah tangga ini yang berpendidikan setingkat SLTA, bahkan sekali saya bertemu dengan TKW yang mengaku telah menyelesaikan diplomanya. Ada apa sebenarnya ini, mengapa sampai ada yang memiliki bekal pendidikan profesi rela menjadi TKW.? Begitu parahkah kondisi negeri sendiri sampai ia memilih jadi babu di negeri orang. Rupanya profesi sebagai buruh ke luar negeri ini menjadi keterpaksaan karena sudah tidak ada pilihan lain untuk keluar dari himpitan hidup di negeri sendiri dan tak mampu membangun impiannya di situ. Tongkat tidak lagi menjadi tanaman, tapi tanaman menjadi tongkat.


KJRI dan IMIGRASI Main Mata.?
Moratorium yang dihembuskan pemerintah beberapa waktu yang lalu ternyata hanya gertak sambal. Sampai saat ini pengiriman sektor informal ke Arab Saudi masih terus berlangsung entah dengan cara apa. Padahal kabarnya KBRI dan KJRI sudah memberlakukan aturan kualifikasi bagi calon pengguna jasa sektor informal. Satu bulan yang lalu melalui komunikasi peer to peer saya menghubungi teman saya yang menjadi karyawan setempat KJRI Jedah. Saya mempertanyakan keseriusan KJRI mengatasi permasalahan TKW yang tak kunjung habis. Dia mengatakan bahwa syarat permohonan pengajuan kontrak kerja ke KJRI sudah diubah. Tapi yang nakal justru permainan di Jakarta katanya. Menurutnya banyak PJTKI yang memberangkatkan TKW tanpa disertai kontrak kerja. Kalau begini siapa yang harus disalahkan.? Tak ada selain keinginan untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya dari Riyalnya Saudi yang tetap harum.

Saya boleh curiga KJRI berusaha membuat kamuflase dalam kasus-kasus yang tak kunjung terselesaikan. Pasca terkuaknya kasus Sumiati- TKW asal NTB yang dianiaya majikannya- dan meninggalnya Kikim Komalasari karena dianiaya majikan, pihak KJRI dan KBRI mengeluarkan perubahan persyaratan kontrak untuk pekerja sektor rumah tangga. Sesuai dengan niatan Menakertrans agar calon pengguna tenaga kerja lulus kualifikasi, dia harus melampirkan syarat-syarat yang cukup komplit. Agar kontrak kerja dapat pengesahan dari KJRI Jedah, calon pengguna jasa harus menyertakan surat kelakuan baik dari kepolisian setempat dan daftar keluarga pengguna jasa beserta foto masing-masing, termasuk foto nyonya rumah. Hal yang nyaris tak bisa dipenuhi oleh pengguna jasa, Karena aturan di negeri ini wanita dewasa tidak boleh memperlihatkan wajahnya yang dianggap aurat. Kita tidak akan pernah menemukan seorang wanita memiliki kartu identitas sendiri. Kartu identitas khusus wanita hanya bisa diterbitkan jika yang bersangkutan sudah berusia uzur dan tidak lagi memiliki suami. Jadi mustahil seorang wanita dewasa Arab Saudi yang masih hidup di negerinya diminta pas foto untuk urusan formal sekalipun.

Begitu juga dengan persyaratan surat keterangan baik dari pihak kepolisian setempat. Untuk bisa mendapatkannya, yang bersangkutan harus mondar-mandir dari instansi ke instansi lainnya. Mereka akan berpikir jungkir balik untuk mendapatkannya. Syarat lain yang lebih ringan, sang calon majikan harus membuat surat pernyataan akan memperlakukan calon pembantunya dengan baik  dan memperbolehkan pembantu menggunakan ponsel. pernyataan pasti tinggal pernyataaan, pada akhirnya majikan adalah raja dalam rumah tangganya. Segala aturan yang diminta hanya pemanis agar dia qualified merekrut pembantu Indonesia yang masih favorit untuk dibodohi.

Bisa jadi ini hanya pencitraan agar terkesan perhatian dan protektif terhadap calon tenga kerja atau paling tidak untuk meminimalisir permintaan TKW menurun bahkan mungkin sama sekali diberhentikan. Sementara yang lain mindset bisnis orientednya mengemuka, pihak imigrasi tentu tidak mau terlalu banyak kehilangan pundi-pundi dari penerbitan paspor khusus TKI/TKW. Selain itu petinggi negri ini mungkin terlalu “eman” jika harus kehilangan remittance yang hampir mencapai $US 7 milliar per tahunnya. Jumlah yang sangat fantastis yang dihasilkan dari peluh rakyat yang mengais rejeki di negeri orang dengan segala resikonya.

Pertanyaan yang muncul dalam benak saya, kemana saja disalurkan dana sebanyak itu.? Nominal  yang saya kira cukup untuk mulai memikirkan pengembangan usaha kecil dan menengah agar dapat menyerap tenaga kerja dalam negeri dan menurunkan minat mengambil banyak resiko bekerja di negeri orang. Saya kira setelah sekian tahun menjadi eksportir buruh sektor informal ke luar negeri, Indonesia sudah waktunya menstimulasi tumbuh berkembangnya industri rumahan seperti yang dilakukan China. Saya pikir SDM Indonesia melimpah dan membangun mental entrepreneur agar berkarya di negeri sendiri. Kuantitas SDM Indonesia yang melimpah sudah waktunya untuk dipoles ke arah industri masif jika sektor pertanian tak bisa lagi diandalkan.

Jika memang pemerintah memiliki keingian untuk mempertahankan kucuran remittance dari tenaga kerja sektor informal ini, sebaiknya ditempatkan petugas khusus yang menangani masalah TKW di tiap distrik atau idealnya di tiap kantor perekrutan. Dengan syarat petugas tersebut bertanggung jawab langsung pada konsulat atau kedutaan RI dan atas biaya negara, bukan disponsori oleh pemilik kantor yang notabenenya orang Saudi. Jika masih dalam sponsor pemilik kantor, sudah pasti tidak akan bisa menengahi persoalan-persoalan yang menimpa sang pahlawan karena bias pada pengguna jasa.

Masih ada yang mau jadi pekerja informal..?