Hanif Ys
 
Ruyati binti Satubi, yang beralamat di Kampung Ceger, Rt 003/01 Kecamatan Sukatani Kabupaten Bekasi adalah seorang tenaga kerja yang dieksekusi mati oleh Pemerintah Arab Saudi karena kasus pembunuhan dan Darsem akan mendapat hukuman yang sama, jika ia gagal membayar diyat (uang darah) sebesar 2 juta riyal (US $ 547.000 ).

Tidak seperti Ruyati, Darsem mendapat permintaan maaf dari ahli waris korban setelah melakukan negosiasi yang melibatkan Kedutaan Besar Indonesia, Islah Lajnah (mirip dengan Komisi Yudisial) dan gubernur  Riyadh termasuk juga peran seorang donor Arab Saudi yang meminta anonimitas memberikan 1 juta riyal untuk Darsem.

Para lawyer kita mungkin sedikit yang tahu tentang hukum di Arab Saudi. Dalam hukum Arab Saudi, bahwa kejahatan dibagi menjadi dua kelompok : Tetap dan ta’zir. Yang pertama mengacu pada kejahatan yang hukumannya sudah diatur oleh Alquran tanpa campur tangan manusia, seperti Pembunuhan, perzinahan, pencurian, perampokan dan  mabuk. Hukuman untuk kelompok kedua (ta’zir) adalah kejahatan yang diputuskan oleh ulama kerajaan setelah konsultasi, pakar hukum dan masyarakat adat.

Dalam kasus pembunuhan, si pembunuh harus dihukum mati sebagai retribusi yang sama (qisas). Tapi tidak seperti empat lainnya (perzinahan, pencurian, perampokan dan  mabuk). Untuk kasus pembunuhan, si keluarga korban yang dibunuh bisa memaafkan pelaku berdasarkan Qur’an surat al-Baqarah ayat 178. Bahkan, Alquran menegaskan bahwa pengampunan adalah bantuan dari Allah Yang Mahakuasa. Tuhan berkata, “Jadi siapa pun yang maaf dari saudaranya, membiarkan [maaf] diikuti dengan cara yang baik dan biarkan [orang diampuni] membayar [uang darah] dengan cara yang baik [juga].

Itu adalah keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, jadi baginya siksa yang pedih. Uang tebusan itu setara dengan 100 unta. Jadi, jika harga unta 2000 riyal, maka Darsem harus membayar 100 unta x 2000 riyal = 2 juta riyal.

Berdasarkan school of law yang berlaku (dikembangkan dan dipatuhi ) di Arab Saudi,  bahwa pembunuhan dikategorikan sebagai qatl bil AMD (pembunuhan yang disengaja) dan qatl ghair AMD (tidak disengaja pembunuhan / pembunuhan).

Tentu saja, hukuman yang berbeda. Pembunuhan dapat dinyatakan disengaja atau tidak berdasarkan pada bukti dan kesaksian saksi. Artinya hukuman itu dapat dibedakan berdasarkan sifat dari pembunuhan dan bukti.

Mengacu pada kasus Ruyati dan Darsem, ada tiga hal menarik yang bisa kita amati. Pertama, dalam pra-Islam tradisi Arab, setiap kejahatan yang mengakibatkan darah dianggap sebagai masalah keturunan jika melibatkan suku nomaden dan suku lain tanpa aturan yang jelas. Islam kemudian mengatur qisas, yang diterapkan untuk non-anggota suku dan klan. Qisas itu dimaksudkan untuk menciptakan kehidupan yang damai.

Oleh karena itu, hukum Islam memberikan ruang bagi grasi terhadap para pelaku dalam pertukaran untuk hukuman mati. Sementara beberapa negara mencoba untuk menyingkirkan hukuman mati, Nabi Allah telah ditangani itu berabad-abad lalu. Diriwayatkan oleh Abu Huraira, Rasul Allah berkata, “Allah tertawa pada dua [tubuh].

Salah satunya adalah pembunuh, namun keduanya masuk surga. Yang laki-laki adalah berjuang di jalan Allah dan kemudian dibunuh [ia masuk surga]. Kemudian si pembunuh bertobat dan masuk Islam dan menemukan kemartiran [masuk surga terlalu]:. Memberikan ruang untuk pengampunan kepada para pelaku, pertobatan akan membuatnya lebih baik. Untuk alasan itu, qisas tidak berlaku jika, misalnya, dari 10 ahli waris, satu orang memilih untuk memaafkan dihukum.

Kedua, KUHAP Arab Saudi adalah manifestasi dari fiqh Hanbali seperti diuraikan dalam bentuk undang-undang. Tidak seperti di Indonesia, Kode Acara Pidana Arab Saudi  mengandung banyak jurisprudences. Jadi, jika Anda adalah seorang pengacara litigasi, Anda harus menghafal ayat-ayat al-Qur’an, hadis (tradisi nabi) dan ribuan jurisprudences yang telah di tempatkan selama berabad-abad. Di Arab Saudi, kekuasaan kehakiman merupakan bagian dari kerajaan, dengan menteri keadilan yang memimpin Mahkamah Agung.

Ketiga, sebagian besar kasus pidana yang melibatkan warga negara Indonesia terjadi dalam ruang yang sangat pribadi. Kita tahu pembantu rumah tangga bekerja di sektor domestik di mana perlindungan hukum yang rapuh dan sulit.

Dalam kasus Darsem, pembunuhan itu terjadi sebagai pertahanan diri terhadap upaya pemerkosaan. Masalahnya, lokus delictinya adalah ruang pribadi.

Selanjutnya, otopsi pada tubuh seorang Muslim harus dilakukan oleh seorang dokter Muslim. Pemeriksaan saksi atau terdakwa harus disertai oleh petugas dan pengacara dari jenis kelamin yang sama.

Kesimpulannya, Jika Pemerintah tanggap dan peduli masalah perlindungan TKI di luar negeri masalahnya akan dapat diselesaikan dengan baik, dan hukum yang berlaku di Arab Saudi tidaklah kejam seperti apa yang dipahami orang saat ini. Jadi jelas sekali ini adalah semata-mata karena kelalaian dan  ketidak pedulian Pemerintah Indonesia dalam upaya perlindungan para TKI kita di Arab Saudi termasuk juga yang ada di negara-negara lain.

Selain itu pengacara yang menguasai dibidang syariah sangat minim. Artinya tidak memilik pengacara yang handal  dalam bidangnya, khususnya yang memiliki latar belakang syari’ah. Khusus untuk ini merupakan tantangan para sarjana-sarjana syari’ah agar peran dan penguasaannya di bidang lawyer mumpuni dan berstandar umum.

Sebaiknya, Indonesia dapat belajar dari kasus Sarah Balabagan, seorang pelayan Filipina yang dijatuhi hukuman mati di Uni Emirat Arab enam tahun lalu.

Berkat lobi presiden Fidel Ramos, Syeikh Zaed bin Sultan an-Nahyan meminta keluarga korban untuk mengampuni Balabagan. Dan pemerintah Filipina mengumpulkan uang untuk membayar denda. Balabagan ditetapkan gratis di terakhir.

Mudah-mudahan, Ruyati adalah warga negara Indonesia terakhir yang dieksekusi mati di Timur Tengah, dan  kita berharap Darsem dan kawan lainnya bisa bebas dari hukuman pancung.


posted on: Kompasiana



Leave a Reply.