Hanif Ys
 
Indonesia sebagai model pluralisme nampaknya harus dikaji kembali kelayakannya. Kekerasan yang berbau agama semakin sering kita dengar. Awal Februari lalu kembali menjadi catatan hitam betapa keberagaman dan ke Bhinneka-an kita semakin porak poranda, padahal Indonesia baru saja menggelar perhelatan dunia “Pekan Harmoni Antar-Iman Dunia” (World Interfaith Harmony Week), dimana tokoh lintas agama berkumpul bersama para negarawan.

Kekerasan di awal Februari masih terlalu hangat untuk dilupakan, dalam dua hari saja ada dua kejadian mengejutkan tentang disharmoni umat beragama di Indonesia. Pertama kasus cikeusik dimana sekitar 1000 massa menyerbu kediaman seorang yang yang diduga penganut dan pimpinan Ahmadiyah setempat, massa merusak dan membakar kediaman jamaah tersebut dan beberapa diantaranya harus terbunuh dengan sia-sia, ini masalah internal agama yang sebenarnya sudah lama menjadi PR pemerintah. Kedua kasus Temanggung yang dipicu oleh ketidak puasan massa atas vonis perkara penodaan agama di Pengadilan Negeri Temanggung yang hanya memvonis terdakwa penistaan agama dengan 5 tahun penjara, massa yang tidak puas kemudian bergerak dan membakar tiga gereja serta satu yayasan.

Kemarin kita kembali dikejutkan dengan meledaknya bom saat dicoba dijinakkan oleh polisi di Komunitas Utan Kayu yang kemudian dikenal dengan “Bom Ulil”, karena paket bom tersebut ditujukan buat pimpinan komunitas Ulil Abshar Abdalla. Lagi-lagi isunya kekerasan berbasis teologi dan agama. Ketidak puasan internal dalam agama yang memicu seseorang berbuat nekat bahkan mungkin tanpa nalar Liberalisme vis a vis radikalisme

Ironi yang tak perlu terjadi di negara yang konon penduduknya bisa hidup rukun dengan berbagai agama, ras dan etnik. Hal yang sebenarnya tak perlu terjadi di saat dunia mulai mengkampanyekan harmonisasi antar iman seluruh dunia, saat sebagian dunia barat mulai tertarik dengan keindahan Islam sebagai way of life

Ini masih menunjukkan bukti bahwa pemahaman pluralism belum mampu meng-cover sikap radikal beberapa kelompok yang tidak sepaham dengan lainnya, dengan Liberalis misalnya. Ini juga menjadi bukti bahwa ke Bhinneka-an kita yang ditanamkan sejak nenek moyang kembali rapuh dengan perlakuan beberapa orang bergaris keras. Menjadi bukti bahwa Indonesia tak lagi layak sebagai model tumbuhnya pluralism agama yang dibangun dengan susah payah oleh Indonesian pluralism founder.

Di Jaman Rasulullah sudah diatur tentang keberagaman beragama, beliau membuat piagam yang berisi penyatuan umat beragama, Islam, Kristen, Bahkan Yahudi ketika itu. Piagam yang kemudian dikenal dengan Piagam Madinah karena memang b erpusat di Kota Madinah ketika itu mengayomi kebersamaan umat, bahkan orang kafir yang tidak memerangi umat Islam bisa hidup rukun dan saling menghormati dalam bingkai Negara Islam yang berpusat di Madinah. Berjanji untuk tidak saling serang, untuk mempertahankan Negara yang sama namun tetap dalam agama yang berbeda.

Sejak zaman nenek moyang Indonesia sudah beragam dan terbiasa dengan perbedaan, kenapa baru akhir-akhir ini terjadi letupan? Kita tidak ingin menyamakan seluruh isi kepala tentang pemahaman beragama, yang beda biarlah beda dan jangan memaksakan kehendak agar orang lain turut mengiyakan apa yang kita pikirkan. Kenapa kita tidak memahami perbedaan secara kontekstual bahwa keberagaman adalah sebuah keniscayaan? Dimana letak keberagaman dan kerukunan kita?


Repost dari Kompasiana



Leave a Reply.