Hanif Ys

me

5/7/2011

0 Comments

 
Hanif Ys
 

Saya menonton VCD “wajah-wajah Islam Indonesia”—sebuah dokumentasi Metro TV. Saya juga baru saja usai membaca buku Ulil Abshar Abdalla Menjadi Muslim Liberal. Dan saya mengutip ini; “Islam sebetulnya lebih tepat disebut sebagai sebuah “proses” yang tak pernah selesai, ketimbang sebuah “lembaga agama” yang sudah mati, baku, beku, jumud, dan mengungkung kebebasan”.

Sebagaimana Ulil, saya pun memahami Islam sebagai “Rahmatan lil alamin”, agama yang membawa rahmat bagi seluruh semesta alam dan umat manusia; dan karena manusia bukanlah sebuah makhluk yang berdiam diri, tetapi organisasi yang bergerak dan berkembang, maka agama juga akan terus menyesuaikan diri dengan kebutuhan manusia. Dan Islam adalah agama semacam ini, agama yang hidup dalam setiap detak zaman—dengan zeit geist.

Tapi soalnya kemudian; ternyata kita terlalu lama larut dalam pemikiran yang dijaga ketat kaum ortodoksi, yang menekan kita untuk diam diri dan hanya menerima pengajaran dari mereka. Sebuah pola pengajaran yang mirip komando militer, yang tidak membuka ruang dialektika antara umat dan ulama untuk mengali dan menafsir Al-Quran dan Hadits secara kritis dan mendalam. Ia yang sering disebut Antonio Gramsci sebagai Hegemoni. Pemikir Partai Komunis Italia tersebut menulis: ada yang tak kelihatan dan telah digunakan secara halus oleh kekuasaan untuk menindas: aparat Ideologi. Mereka menjerat pikiran orang sehingga tidak mau melawan. Saya kira dari jerat seperti ini juga, orang semacam Jabir kemudian hadir dan menebar teror kehadapan kita.

Gempur Budi Angkoro alias Jabir — umurnya 27 tahun, ia pernah belajar di pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah selama beberapa tahun, hingga akhirnya pindah dan meyelesaikan pendidikanya di Pesantren Darusysyahadah, Boyolali, kemudian mendedikasikan ilmunya disana selama tiga tahun lamanya. Sampai pada suatu hari di tahun 2002 ia berkenalan dengan Nurdin M Top dan Dr. Azhari. Dari azhari, Jabir belajar bagaimana merakit bom. Dari Nurdin M Top dia menyakini ; ”Bukankah sejak terampasnya tanah dan kehormatan kaum muslimin baik di bumi Palestina, Afganistan, Kashmir, Chechnya, dan Bosnia telah menjadikan jihad sebagai fardhu ’ain,” Sebab itu bagi Jabir meledakan bom di hotel Marriot dan café Nyoman tahun lalu sebagai sebuah ibadah.

Jabir barangkali adalah seorang idealis yang percaya betul bahwa perintah gurunya adalah perintah Tuhan. Tapi bagaimana Tuhan dapat sekejam itu—memeritahkan umatnya untuk membunuh mahkluk ciptaannya sendiri, sementara Tuhan dalam salah satu firmanya berseru. “Barang siapa menyelamatkan nyawa satu orang, maka ia seolah telah menyelamatkan nyawa semua orang.” (quran, 5:32).

Ketika firman dilanggar, Jabir kemudian berdoa—selepas meledakan bom hasil racikanya di café Nyoman Bali atau hotel Marriot yang menewaskan puluhan orang—juga ada umat muslim diantaranya, yang meradang saat nyawa lepas dari tubuh, seakan sedang mengutuk kebrutalan yang ditebar orang semacam Jabir yang menganggap; ”Dengan peledakan, pengikut kebenaran memberikan contoh pengorbanan yang paling indah, berani mati guna membela agama....”

Saya tak tahu, adakah Tuhan membenarkan membunuh terhadap orang lain—seiman atau tidak seiman, sebagai dampak atau tujuan. Saya tak pernah tahu adakah Tuhan membenarkan umatnya bunuh diri—walaupun itu ”demi Tuhan” yang dia bela. Yang saya tahu Tuhan tak satu kalipun memerintahkan umatnya membunuh atas nama apapun—juga dirinya. Tuhan tak pernah membutuhkan pengorbanan umatnya untuk membelanya dirinya. Tuhan tidak butuh itu. Tuhan ada pemilik semesta alam, Tuhan lebih besar, lebih agung dari apapun. Tuhan bisa berkehendak, bahkan berbuat apasaja terhadap umat manusia dan alam semesta. Tuhan dapat menciptakan sekaligus menghancurkan sesuatu sekehendaknya dalam hitungan kurang dari dari satu detik.

Sungguh Jabir bukanlah orang yang cukup mengenal Tuhan, bahkan mungkin juga ia tak punya banyak keteguhan hati untuk terus bersama Nurdin M Top dan Azhari. Seperti juga korba-korban hasil bom racikannya. Jabir juga takut akan menghadapi kematian; ”Sesungguhnya perjalanan jihad penuh dengan onak dan duri, dibayangi rasa takut, kelaparan, dan hilangnya nyawa….” Di sebuah pagi yang tak begitu cerah pada 29 April lalu, sebuah pelor dari moncong senapang pasukan Detasemen 88 Polri menembus tubuhnya dalam sebuah pengerbekan, Jabir masih berharap kepada tuhan yang disebut setiap hari; “Ya Robbi..., masukkan hamba-Mu ini... ke dalam jannah abadi... bersanding dengan para bidadari....”. saya tak tahu bagaimana Tuhan dapat mengabulkan permintaaannya. Saya juga tak tahu adakah Jabir di jannah sekarang.

Jannah—surga, ia seakan menjadi akhir dari segalanya—Janah adalah tujuan, bahkan mungkin bagi orang seperti Jabir, juga Michel O’Conner—Jannah barangkali lebih besar dari Tuhan itu sendiri. Goenawan Muhamad dalam buku catatan pinggir 3—mengutif kisahnya dari kantor berita Reuter. O’Conner, pemuda 20 tahun yang tinggal di dekat Sedney, pada 31 Mei 1986 itu, baru saja memeluk agama Kristen. Dan dengan perasaan cemas namun berani, ia memotong tangannya yang bertato dengan gergaji listrik, sembari mengutif injil; “Jika tanganmu menistakanmu, potonglah”.

Bila setiap kali firman Tuhan diartikan secara tekstual seperti itu, maka akan selalu ada tangan yang terpenggal setiap menitnya atau akan banyak kepala yang berpisah dari tubuh setiap detiknya. Dan saya yakin tuhan yang kita sapa dengan agung berpuluh-puluh kali setiap hari tidak pernah punya bermaksud seperti itu. Tapi kita akan selalu menemukan orang seperti Jabir dan Michel O’Conner diabad 20 ini. Orang-orang baik yang ingin duduk di pangkuan Tuhan namun tersesat jalan.

Sebab itulah saat firman Tuhan ditafsirkan kita selalu membutuhkan metafora—dalam arti lain, firman Tuhan harus dilihat secara kontekstual. Juga bagi umat Islam. Kita memerlukan penafsiran Islam yang non-literal, subtansial, kontekstual, dan sesuai denyut nadi peradaban manusia yang sedang dan terus berubah, sebab Islam hidup dengan zeit geist.

Dan umat Islam—sekali lagi saya harus mengutif Ulil; ”Entitas sosial yang menyebut dirinya umat Islam harus berijtihad mencari formula baru dalam menerjemahkan nilai-nilai itu dalam konteks kehidupan mereka sendiri, sebab kehidupan manusia terus bergerak menuju perbaikan dan penyempurnaan. Dan umat Islam harus mengembangkan pemahaman bahwa suatu penafsiran Islam oleh golongan tertentu bukanlah paling benar dan mutlak, karena itu harus ada kesediaan untuk menerima dari semua sumber kebenaran”

Islam seperti dikemukan oleh Prof. Nur Cholis Majid adalah nilai generik yang bisa ada di agama lain, bahkan mungkin pada paham yang dikembangkan Karl Marx atau Adam Smith. Atau juga barangkali—untuk terakhirkalinya izinkan saya kembali mengutif Ulil; Islam memang bukan sebuah monumen mati yang dipahat dari abad 7 masehi, lalu dianggap sebagai patung indah yang tak boleh di sentuh tangan sejarah, atau malah Islam sesungguhnya adalah sebuah proses yang tak pernah selesai menuju sebuah kebenaran. Islam adalah sumber peradaban, bukan penyebar ketakutan.***


Edy Burmansyah

Dipublikasi; di Harian Batampos, 30 Juni 2006

 
Membaca tulisan Marzuki Ali tentang “TKI, Permasalah, antara Beban dan Kewajiban“, saya tertarik untuk menulis permasalahan ini dari sudut pandang yang lain, khususnya TKW (Tenaga Kerja Wanita) sektor informal di Arab Saudi yang dinilai paling banyak bermasalah. Saya ingin menyoroti sesuai kapasitas saya sebagai orang yang pernah menjadi praktisi langsung di lapangan. Saya pernah menjadi karyawan outsourcing di sebuah agen penempatan tenaga Kerja Arab Saudi -lebih dikenal dengan sebutan “Perwakilan” , entah apa maksudnya. Pekerjaan saya  menerbitkan dan menerima visa dari pengguna jasa –dalam hal ini majikan–, dan mengirimkannya ke Indonesia setelah melalui proses internal dengan melengkapi berkas-berkas yang harus dilampirkan, setelah itu -dibawah pressure pengguna jasa, saya harus mem-follow up sejauh mana perkembangan visa-visa kerja informal tersebut diproses hingga kedatangan sang pembantu.

Visa kerja sesuai aturan harus dikirim ke Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) di Indonensia bersama berkas lainnya, yaitu  pertama recruitment detail yang berisi detail permintaan tenaga kerja yang diinginkan pengguna, baik dari segi usia, asal daerah calon tenaga kerja, pernah bekerja sebelumnya atau tidak, serta ketrampilan-ketrampilan yang harus dimiliki calon tenaga kerja. Kedua, Otorisasi atau mandat dari pengguna jasa yang dikuasakan pada PJKTKI tertentu agar perusahaan tersebut dapat memproses calon tenaga kerja dari awal sampai keluar stamp job Visa dari Kedutaan Arab Saudi di Jakarta. Yang terakhir adalah Kontrak Kerja antara pengguna jasa dan tenaga kerja yang harus dilegalisir petugas Konsulat Jenderal Republik Indonesia  (KJRI) di Jedah atau Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) yang berkedudukan di Riyadh, tegantung wilayah kerja masing-masing.

Dari sinilah permasalahan mulai timbul, sejak minggu pertama kedatangan pembantu dalam setiap kelompok terbang selalu saja ada yang protes, baik dari pengguna jasa atau pembantu. Bahkan pernah dari airport waktu menjemput TKWnya langsung dibawa ke kantor karena dianggap tidak sesuai pesanan. Ini jelas kesalahan PJTKI yang memberangkatkan, karena tidak jeli membaca recuitment detail. PJTKI pun harus bertanggung jawab mengingat ada jaminan masa percobaan selama 3 bulan pertama. Namun selama sang pembantu masih ada keinginan untuk bekerja dan majikan bisa diajak kerja sama - walau sulit-  saya masih bisa membantu tetap bekerja pada majikan yang bersangkutan atau paling tidak dipindahkan pada orang lain yang membutuhkan. Masalah yang paling sering terjadi dari keluarga pengguna jasa. Seperti pelecehan seksual, kekerasan serta tak tahannya pembantu dengan “rewelnya” nyonya rumah. Cek cok dan perang mulut antara saya dan pengguna jasa menjadi hal yang lumrah setiap harinya (kok cek angele golek duwik).

Ketidaksiapan mental menghadapi budaya yang berbeda, menjadi penyebab utama timbulnya masalah. Tanpa ada maksud me-generalisir, karakter orang Saudi sebagaimana orang Arab pada umumnya memang keras, temperamental dan tak mau mengalah, khususnya mereka yang tinggal di luar kota-kota besar. Memahami karakter mereka secara umum yang merupakan satu keniscayaan sebenarnya tidaklah cukup. Ada faktor budaya lain yang mungkin belum pernah muncul ke permukaan atau menjadi pertimbangan kenapa kita harus menempatkan tenaga kerja informal ke negara ini. Orang Saudi sangat proteksionis, rumah mereka dipagari tembok tebal dan tinggi agar orang lain tak bisa melihat sisi dalam keluarga mereka dan dianggap aib. Seperti halnya larangan melihat wajah perempuan yang sudah dewasa di sana, bahkan pada saudara iparnya sendiri. Pintu rumah yang terbuat dari besi terkunci rapat, baik dari luar atau dari sisi dalam. Dengan kultur seperti ini rasanya  pelanggaran yang terjadi dalam rumah tangga menjadi sulit tersentuh atau terungkap ke permukaan. Itulah sebabnya kenapa banyak sekali TKW yang memilih bertaruh kabur dari rumah majikannya. Padahal kabur adalah taruhan yang sangat beresiko tinggi. Karena untuk mengadu pun susah, apalagi meminta perlindungan atau minta diantar ke kantor agensi dimana mereka direkrut. Maksud kabur tentu untuk meminta pertolongan dari nasibnya yang kurang beruntung mendapat majjikan yang tak humanis. Namun di tengah perjuangannya, dia bisa diperalat oleh orang lain karena dianggap “barang langka” untuk dinikmati manisnya. Hal lain yang dianggap pelanggaran, mereka anggap hal biasa. Memukul misalnya. Sebagian dari mereka menganggap bukanlah kekerasan dalam rumah tangga atau pelanggaran terhadap HAM, tapi mereka anggap sebagai pembelajaran. Anggapan yang aneh memang, tapi itulah kenyataan. Pernah sekali seorang teman yang bekerja di sebuah dept. store menemui TKW yang dipukul di depan orang banyak hanya gara-gara dia bertanya ada tidaknya bumbu masak ala Indonesia pada teman tadi dengan Bahasa Indonesia tentunya. Tak ada yang bisa menegur karena anggapan mereka hal itu menjadi otoritas majikan. Ini juga yang mendorong saya harus memutuskan resign dari pekerjaan, karena tak mampu membela nasib bangsa sendiri di bawah bayang-bayang sponsor Saudi.

Dari fakta di atas, minimnya pendidikan dan ketrampilan bukan satu-satunya pemicu timbulnya masalah yang dialami TKW.  Setiap mereka yang bermasalah selalu saya sempatkan bertanya, apakah mereka berangkat prosedural dan mengikuti bekal ketrampilan di Balai Latihan Kerja, tak satupun yang mengatakan tidak, bahkan sebagian TKW menunjukkan sertifikat pelatihannya. Di sisi lain saya sering menjumpai pekerja sektor rumah tangga ini yang berpendidikan setingkat SLTA, bahkan sekali saya bertemu dengan TKW yang mengaku telah menyelesaikan diplomanya. Ada apa sebenarnya ini, mengapa sampai ada yang memiliki bekal pendidikan profesi rela menjadi TKW.? Begitu parahkah kondisi negeri sendiri sampai ia memilih jadi babu di negeri orang. Rupanya profesi sebagai buruh ke luar negeri ini menjadi keterpaksaan karena sudah tidak ada pilihan lain untuk keluar dari himpitan hidup di negeri sendiri dan tak mampu membangun impiannya di situ. Tongkat tidak lagi menjadi tanaman, tapi tanaman menjadi tongkat.


KJRI dan IMIGRASI Main Mata.?
Moratorium yang dihembuskan pemerintah beberapa waktu yang lalu ternyata hanya gertak sambal. Sampai saat ini pengiriman sektor informal ke Arab Saudi masih terus berlangsung entah dengan cara apa. Padahal kabarnya KBRI dan KJRI sudah memberlakukan aturan kualifikasi bagi calon pengguna jasa sektor informal. Satu bulan yang lalu melalui komunikasi peer to peer saya menghubungi teman saya yang menjadi karyawan setempat KJRI Jedah. Saya mempertanyakan keseriusan KJRI mengatasi permasalahan TKW yang tak kunjung habis. Dia mengatakan bahwa syarat permohonan pengajuan kontrak kerja ke KJRI sudah diubah. Tapi yang nakal justru permainan di Jakarta katanya. Menurutnya banyak PJTKI yang memberangkatkan TKW tanpa disertai kontrak kerja. Kalau begini siapa yang harus disalahkan.? Tak ada selain keinginan untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya dari Riyalnya Saudi yang tetap harum.

Saya boleh curiga KJRI berusaha membuat kamuflase dalam kasus-kasus yang tak kunjung terselesaikan. Pasca terkuaknya kasus Sumiati- TKW asal NTB yang dianiaya majikannya- dan meninggalnya Kikim Komalasari karena dianiaya majikan, pihak KJRI dan KBRI mengeluarkan perubahan persyaratan kontrak untuk pekerja sektor rumah tangga. Sesuai dengan niatan Menakertrans agar calon pengguna tenaga kerja lulus kualifikasi, dia harus melampirkan syarat-syarat yang cukup komplit. Agar kontrak kerja dapat pengesahan dari KJRI Jedah, calon pengguna jasa harus menyertakan surat kelakuan baik dari kepolisian setempat dan daftar keluarga pengguna jasa beserta foto masing-masing, termasuk foto nyonya rumah. Hal yang nyaris tak bisa dipenuhi oleh pengguna jasa, Karena aturan di negeri ini wanita dewasa tidak boleh memperlihatkan wajahnya yang dianggap aurat. Kita tidak akan pernah menemukan seorang wanita memiliki kartu identitas sendiri. Kartu identitas khusus wanita hanya bisa diterbitkan jika yang bersangkutan sudah berusia uzur dan tidak lagi memiliki suami. Jadi mustahil seorang wanita dewasa Arab Saudi yang masih hidup di negerinya diminta pas foto untuk urusan formal sekalipun.

Begitu juga dengan persyaratan surat keterangan baik dari pihak kepolisian setempat. Untuk bisa mendapatkannya, yang bersangkutan harus mondar-mandir dari instansi ke instansi lainnya. Mereka akan berpikir jungkir balik untuk mendapatkannya. Syarat lain yang lebih ringan, sang calon majikan harus membuat surat pernyataan akan memperlakukan calon pembantunya dengan baik  dan memperbolehkan pembantu menggunakan ponsel. pernyataan pasti tinggal pernyataaan, pada akhirnya majikan adalah raja dalam rumah tangganya. Segala aturan yang diminta hanya pemanis agar dia qualified merekrut pembantu Indonesia yang masih favorit untuk dibodohi.

Bisa jadi ini hanya pencitraan agar terkesan perhatian dan protektif terhadap calon tenga kerja atau paling tidak untuk meminimalisir permintaan TKW menurun bahkan mungkin sama sekali diberhentikan. Sementara yang lain mindset bisnis orientednya mengemuka, pihak imigrasi tentu tidak mau terlalu banyak kehilangan pundi-pundi dari penerbitan paspor khusus TKI/TKW. Selain itu petinggi negri ini mungkin terlalu “eman” jika harus kehilangan remittance yang hampir mencapai $US 7 milliar per tahunnya. Jumlah yang sangat fantastis yang dihasilkan dari peluh rakyat yang mengais rejeki di negeri orang dengan segala resikonya.

Pertanyaan yang muncul dalam benak saya, kemana saja disalurkan dana sebanyak itu.? Nominal  yang saya kira cukup untuk mulai memikirkan pengembangan usaha kecil dan menengah agar dapat menyerap tenaga kerja dalam negeri dan menurunkan minat mengambil banyak resiko bekerja di negeri orang. Saya kira setelah sekian tahun menjadi eksportir buruh sektor informal ke luar negeri, Indonesia sudah waktunya menstimulasi tumbuh berkembangnya industri rumahan seperti yang dilakukan China. Saya pikir SDM Indonesia melimpah dan membangun mental entrepreneur agar berkarya di negeri sendiri. Kuantitas SDM Indonesia yang melimpah sudah waktunya untuk dipoles ke arah industri masif jika sektor pertanian tak bisa lagi diandalkan.

Jika memang pemerintah memiliki keingian untuk mempertahankan kucuran remittance dari tenaga kerja sektor informal ini, sebaiknya ditempatkan petugas khusus yang menangani masalah TKW di tiap distrik atau idealnya di tiap kantor perekrutan. Dengan syarat petugas tersebut bertanggung jawab langsung pada konsulat atau kedutaan RI dan atas biaya negara, bukan disponsori oleh pemilik kantor yang notabenenya orang Saudi. Jika masih dalam sponsor pemilik kantor, sudah pasti tidak akan bisa menengahi persoalan-persoalan yang menimpa sang pahlawan karena bias pada pengguna jasa.

Masih ada yang mau jadi pekerja informal..?

 
Ijinkan malam ini ku mengukir harap
Menggapai purnama redup di balik awan
Dan aku terbenan dalam senandung sendu yang sering kau lantunkan

Tak tersirat di dadaku menepis mimpi, memburai asa kita
Seteguk arak sudah cukup memabukkanku
Dan belajar pada lilin yang bercinta
Serta sayap kupu-kupu yang tak bisa tersentuh api

Kuhanya merajut hidup yang tlah tergaris
Menapaki jalan yang mengantarku padamu
Merangkai senja yang pernah aku janjikan dahulu
Kau bawakan aku angin sayapku tuk mengepak tanpa minta dahan tuk balasan
Kau beri aku tawa yang bisa tenangkan badai
Dan cerita saat kuingin berbagi tentang segala yang kulalui sepanjang hari
Serta kedamaian dengan sejumput senyummu

Aku malu pada waktu yang enggan kembali
Karena sayapku tlah lemah, sayang
Tak tahu harus kemana bersinggah

Lelah sudah ku mencari ranting kering di tengah dahaga yang tak berujung
Dan kemarau yang meranggaskan dedaunan

Tak kah kau rasakan gundah hati ini
Bak gelisah angin di terik kemarau
Menggemerisik di pengasingan
Ada bisikan tentang gulanaku.

Tunggu aku di batas waktu,
Kubawakan senja itu untukmu
Istriku