Hanif Ys
 
Picture
Mungkin saat ini banyak mata dan telinga tertuju pada hiruk pikuk dan amburadulnya politik di negeri ini, nama Ani Ratnawati tak banyak dikenal oleh masyarakat, bahkan namanya tak pernah menyeruak mencuri perhatian media. Jauh dari popularitas tokoh yang tiba-tiba saja sering menggelitik telinga orang awam. Ada Nazarudin yang melebihi popularitas Udin sedunia, muncul nama Andi Nurpati yang menenggelamkan nama mahapatih Gajah Mada, muncul Surya Paloh yang sempat bikin bingung pecandu Gudang Garam Surya.

Ani hanya wakil menteri keuangan yang mungkin tak pernah mau namanya terpublikasikan. tapi karena dialah yang mula-mula memundulkan wacana dan menggagas penghentian sementara pengangkatan Pegawai Negeri Sipil (PNS). serta membuat wacana ini bergulir bak bola salju, tiba-tiba namanya banyak disebut media walau tak sesering tokoh-tokoh kontroversial di atas.

Menurutnya Jumlah PNS yang sudah mencapai 4,7 juta sangat membebani APBN. Ketika jumlah tersebut secara kuallitatif membebani anggaran negara hingga lebih 30 persen, banyak pihak yang mulai menuding bahwa kebijakan yang digulirkan di awal kepemimpinan SBY itu, sekarang mulai menuai hujatan. Negara "terbebani" membayar pegawainya yang belum terbukti berbanding lurus dengan produktifitasnya. Bahkan negara kian ambruk dan terpuruk, kebijakan itu terbukti kontraproduktif tak menambah angka signifikan pada angka kesejahteraan perindividu secara integral.

Secara nasional serapan sebesar 30 persen tersebut bisa saja menjadi angka yang sangat kecil bila ditilik lebih jauh ke daerah tingkat kabupaten atau kota madya. Mungkin akan belipat dua atau bahkan naik lebih 200 persen. Padahal kalau dikalkulasi labih jauh sebenarnya penambahan tenaga kerja dibeberapa sektor tidak didasarkan pada skala kebutuhan. Cobalah kita jalan-jalan ke kantor layanan publik seperti di kantor kecamatan misalnya, Berapa orang di antara mereka yang benar-benar bekerja? dan berapa persen diantara mereka yang santai nonton televisi sambil menunggu jam pulang kantor dan awal bulan depan terima ongkos lelah menunggu.

Belanja untuk pegawai tersebut secara matematis akan mengurangi alokasi belanja untuk pembangunan infrastruktur dan fasilitas publik yang seharusnya lebih diutamakan. Seperti pembangunan dan perbaikan jalan akses untuk kawasan yang belum sepenuhnya memperoleh perhatian di daerah-daerah luar dan pedalaman. Dengan demikian efek pemerataan akan semakin terasa dan di sisi lain peningkatan taraf hidup dengan infrastruktur yang memadai lebih gampang tercapai. Tentu saja penerapannya harus ekstra hati-hati dan tidak diserahkan pada segelintir orang atau pada penguasa. Ini bisa celaka karena hanya akan membuka kran pungutan yang tidak proporsional dan ditilap Nazarudin dan kroninya serta Nazarudin-Nazarudin lain yang masih menunggu kesempatan.

Di sisi lain pemerintah dituntut menaikkan gaji PNS yang sudah dilakukan hampir selama lima tahun terakhir. ada juga kebijakan gaji ke 13 yang dulunya diyakini sebagai angka sial kini menjadi lucky number PNS yang sudah  hampir enam tahun berturut-turut diberikan. Ditambah lagi  renumerasi yang secara bertahap yang telah dilaksanakan di sejumlah kementerian. Tiga kebijakan itu secara kumulatif meningkatkan beban anggaran negara dengan sangat signifikan. Semula kebijakan ini berlatarbelakang reformasi. Meskipun faktanya… juga tidak mengubah apa2. Korupsi masih menggerogoti hampir di semua lini dan tingkatan dalam birokrasi.

Ini semua karena pengangkatan PNS memang tidak lepas dari kebijakan politik kekuasaan partai penguasa sejak awal pemerintahan. Kebijakan ini pula yang menjadi salah satu biang kerok mengapa PNS menjadi tak efektif. Salah satunya karena kebijakan pengangkatan tenaga honorer tanpa proses seleksi.

Kita Coba Evaluasi

Satu tahun sejak saat terpilihnya SBY sebagai presiden, hal pertama yang dilakukannya adalah mengamankan posisi kekuasaannya pada pilpres berikutnya tahun 2009. Politik kekuasaan itu langsung dituangkan dengan terbitnya PP No. 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Pegawai Negeri Sipil. Pengangkatan (tanpa seleksi) berlaku bagi semua tenaga honor yang diangkat sebelum 2005 dan ditargetkan selesai tahun 2009. Jelas angka tahun 2009 bukan  karena sekedar mengandung unsur 9 sebagai angka favorit SBY. Tapi mengarah pada masa pilpres untuk masa jabatan kedua. Kebijakan pengangkatan–tanpa seleksi–bagi tenaga honor jelas menjadi kebijakan politik kekuasaan yang sekaligus menjadi blunder bagi politik birokrasi pemerintah. Kenapa demikian?

Pertama, rekrutmen tenaga honorer, meski kadang tak berpijak pada kebutuhan tenaga riil atas beban kerja dan  keterbatasan anggaran, adalah merupakan kebijakan yang sarat dengan nuansa KKN. Bukan rahasia lagi bahwa bahwa rekrutmen tenaga honor ini umumnya merupakan akal-akalan sebagai jalan memutar untuk bisa menjadi PNS. Rekrutmen dengan mudah dilakukan tanpa proses seleksi baku seperti halnya seorang calon PNS umumnya. Banyak pintu yang dimasuki untuk dapat menjadi tenaga honorer karena memang tidak ada standar baku bagi pengangkatannya.  Bahkan seorang kepala sekolahpun dapat merekrutnya cukup dengan satu lembar surat tugas yang dapat diperpanjang setiap tahun.

Banyaknya pintu dan tidak adanya standar seleksi menjadikan seorang kepala satuan kerja dengan mudah memasukkan siapa saja yang dikehendaki untuk direkrut menjadi tenaga honorer. Pada situasi ini faktor kekerabatan menjadi sangat menonjol. Atau jika dia orang lain, imbalan dapa menjadi latar belakangnya. Pada situasi ini dapat kita bayangkan bagaimana kualitas hasil rekrutan yang hampir tanpa seleksi.

Kedua, celakanya pula kebijakan pengangkatan tenaga honorer yang terbatas hanya bagi tenaga sebelum 2005, disambut dengan ‘kreatifitas’ berlebihan oleh sejumlah kepala satuan kerja di daerah. Muncullah tenaga2 honorer yang sebenarnya diangkat setelah tahun 2005, dan seharusnya tidak berhak diangkat menjadi PNS  dokumennya disulap ‘anti datir‘ (mundur) seolah mereka telah menjadi tenaga honorer sebelum tahun 2005. Dengan tujuan tertentu–umumnya dengan motif kekerabatan atau imbalan–mereka menjadi ‘berhak’ untuk menduduki ‘kursi nyaman’ sebagai PNS.

Meminjam istilah MenPAN R&B, kreatifitas ‘kurang ajar’ seperti di atas menyebabkan sebagian tenaga honorer yang lebih berhak menjadi tercecer. Dan hingga sekarang masih belum selesai. Dengan beban pengangkatan ini pemerintah memperpanjang kebijakan pengangkatan honorer hingga tahun 2012. Kelompok inilah yang selama ini banyak menghiasi media massa dan berdemo menuntut untuk tetap diangkat.

Dinamika anggaran saat ini telah berubah. Kebijakan remunerasi belum menyentuh semua PNS dan sebagian belum 100 persen dibayarkan. Di lain pihak kebijakan untuk menyesuaikan gaji PNS dengan inflasi melalui kenaikan gaji setiap tahun, dan pemberian gaji ke 13 telah menjadi perangkap hukum melalui amanat UU. Tidak ada pilihan lain bagi pemerintahan SBY, moratorium dan program pensiun dini menjadi satu-satunya alternatif rasional untuk lolos dari kebangkrutan negara. Politik kekuasaan yang dibungkus dengan politik birokrasi dan reformasi PNS, bagai menepuk air di dulang–memercik muka sendiri. Seperti slogan antikorupsi yang hingar bingar didengungkan pada awal pemerintahan, dan kini menjadi bumerang bagi diri sendiri.

Jika program nol pertumbuhan (zero growth) melalui moratorium dan pensiun dini PNS tidak direncanakan  melalui cetak biru atas peta kebutuhan riil pegawai dan beban kerja, niscaya persoalan PNS  akan menjadi pekerjaan “cuci piring” bagi pemerintahan berikutnya. Seperti yang dikeluhkan pemerintahan SBY saat awal masa pemerintahannya–pasca kemenangan pilpres yang menggeser pemerintahan Megawati. Lalu siapa pula yang sudi menjadi presiden di sebuah negeri diambang Bangkrut selain orang-orang yang justru  akan memperkeruh keadaan....?




Leave a Reply.