Hanif Ys
 
Bertepatan dengan musim haji beberpa bulan yang lalu, kitapun pernah mendengar berita yang juga cukup menyesakkan dada, yakni terbunuhnya Kikim Komalasari, dimana mayatnya sempat ditemukan di tempat sampah setelah diduga diperkosa oleh pelaku yang tak lain adalah majikannya sendiri. Kita hanya bisa mengelus dada saat menyadari bahwa TKI-TKW hanya dijadikan komoditas dari pada layaknya manusia yang seyogyanya dijaga hak-haknya. Belum tuntas kontroversi antara moratorium dan tidak pengiriman TKW ke Arab Saudi pasca meninggalnya Kikim, muncul kasus baru yang menimpa Sumiati, TKW asal Dompu yang disiksa majikannya hingga mengalami luka serius di bagian muka dan sekujur tubuh serta sempat menjalani operasi paru-paru akibat kekerasan yang dilakukan majikannya. Pengadilan tingkat pertama Jedah memvonis majikan dengan 3 tahun kurungan penjara. Sayangnya belakangan terdengar kabar bahwa terdakwa pelaku penganiayaan terhadapa pembantunya itu kemudian divonis bebas setelah mengajukan banding pada mahkamah tingkat 2 di kota Mekkah. Lagi-lagi kabar miris ini menggambarkan bahwa diplomasi dan advokasi perlindungan kita memang amat lemah kalau tidak dibilang mandul.

Dari dua kasus tersebut sebenarnya pemerintah atas desakan masyarakat sudah berkeinginan melakukan moratorium pengiriman TKW ke Negara sumber minyak ini, sayangnya pertimbangan remittance dari keringat babu yang mencapai angka $ 7 Milliar pet tahun tersebut ditengarai membuat pihak-pihak yang mestinya bertanggung jawab bergeming dan tetap “keukeuh” mengeruk keuntungan dari keringat orang yang dengan bangganya mereka sebut “pahlawan Devisa”. Sekarang kasus Ruyati telah menggugah  perasaan ribuan bahkan mungkin jutaan orang yang prihatin dengan rapuhnya diplomasi ketenagakerjaan kita.

Kejanggalan di Depnakertrans
Pasca dua kasus enam bulan yang lalu yang menimpa Kikim dan sumiati, sebenarnya sudah ada kejanggalan yang jika kita telisik lebih jauh terasa aneh dan membingungkan. KJRI Jedah dan KBRI Riyadh sudah mengeluarkan persyaratan formal bagi calon pengguna jasa yang ingin merekrut TKW dari Indonesia dengan memberlakukan sistem kualifikasi. Hanya calon pengguna yang dinyatakan qualified yang boleh menggunakan jasa tenaga kerja dari Indonesia, jika tidak bisa meyertakan persyaratan-persyaratan dimaksud, Perjanjian Kerja (PK) antara pengguna jasa dan calon tenaga kerja tak bisa disahkan oleh pihak KJRI-KBRI. Artinya visa kerja tanpa pengesahan kontrak kerja antara pengguna jasa dan calon tenaga kerja oleh KJRI-KBRI tidak bisa diproses di Depnakertrans. Persyaratan-persyaratan itu antara lain :
- Menyertakan surat kelakuan baik dari Kepolisian setempat.
- Membuat surat pernyataan akan memberlakukan dengan baik calon tenaga kerja yang disahkan oleh pihak pemerintah yang berwenang dan menyertakan daftar anggota keluarga dengan foto masing-masing anggota keluarga.
- Memiliki penghasilan minimal SAR 6000 (sekitar 15 juta) per bulan untuk 1 tenaga kerja.
dan syarat-syarat lain yang lebih detail yang tidak bisa saya paparkan disini.
Kenyataannya pasca diberlakukannya PK baru untuk visa kerja non formal yang dikirimkan melalui PJTKI hampir seluruhnya tidak disertai dengan Perjanjian Kerja yang disahkan melalui perwakilan RI baik di Jedah atau Riyadh. Karena hampir seluruh calon pengguna jasa keberatan dengan syarat-syarat yang mereka anggap "konyol". Ini yang kemudian menjadi pertanyaan, Bagaimana mungkin visa tanpa kontrak kerja dapat di proses di Depnakertrans.? Selidik punya selidik ternyata ada main mata antara pihak PJTKI dan "oknum" di departemen ini. Istilah tahu sama tahu walau dengan PK aspal bisa saja diproses, yang penting ada pundi-pundi yang setimpal untuk tiap satu berkasnya. Yang penting tidak ada sidak dari KPK. Lagi-lagi oknum hipokrit seperti ini yang memanfaatkan kesempatan di atas kesempitan orang lain.

Usulan Absurd
Kepala BPN2TKI Jumhur Hidayat mengusulkan perubahan pola pekerja rumah tangga di Arab Saudi dari “live in” menjadi “live out”, tentu maksudnya menyediakan rumah penampungan bagi TKW yang ingin cuti mingguan. Usulan ini cukup rasional dan menjadi salah satu solusi meminimalisir perlakuan atau pelanggaran pengguna jasa terhadap point-point perjanjian kerja yang memang sering dilanggar oleh pengguna jasa sebagai pihak pertama. Ini berarti bahwa TKW memiliki kesempatan berinteraksi dengan agency dan sesama pembantu. Pengguna jasa diharuskan mempertanggungjawabkan secara berkala pada agency dimana TKW direkrut. Dengan demikian interaksi antara pengguna jasa dan TKW dapat terpantau. Sayangnya Jumhur mungkin tidak menyadari bahwa perekrutan TKW adalah otoritas internal keluarga di Saudi. Predikat “domestic worker” masuk dalam lingkup keluarga, dimana otoritas pemerintah di sana tidak bisa intervensi lebih jauh dalam urusan privasi keluarga. Di satu sisi, pola seperti ini sangat rawan trafficking, TKW bisa menjadi bulan-bulanan penanggung jawab pemilik penampungan, dijual dari pengguna jasa ke pengguna lainnya. Bisa jadi dipaksa untuk tetap bekerja walau kondisi fisik sudah tidak memungkinkan. Kasus-kasus seperti ini sering terjadi di kantor-kantor yang membuka layanan pergantian majikan. Tak sedikit TKW yang awalnya berharap mendapatkan majikan lebih baik ternyata justru menjadi komuditas dagang dan bahkan terkadang tanpa upah.

Lain halnya jika pola yang ditawarkan berupa rumah singgah yang dimediasi langsung oleh pihak pemerintah dalam hal ini kedutaan RI atau pihak konsulat. Pengelola tentu saja bukan orang Saudi tapi langsung ditunjuk pihak kedutaan dan bertanggung jawab langsung pada bagian perlindungan kedutaan. Tapi pola seperti ini nampaknya juga tak mungkin, mengingat system di sana takmemungkinkan warga non Saudi mengelola kantor layanan umum secara legal.

Lalu harus bagaimana.? Tentu bukan hanya moratorium, semestinya pengiriman TKW non formal dialihkan ke sektor formal khususnya tenaga medis yang selama ini didominasi warga Pilipina, Bangladesh dan Mesir. Karena di sektor ini perlindungan hukum jauh lebih baik. Hal yang tak mudah dilakukan karena harus mempersiapkan SDM dalam jangka waktu yang tak singkat dan harus ikhlas menyunat devisa yang konon kabarnya di peringkat kedua setelah migas.
 
 Pengamat politik Charta Politika, Yunarto Wijaya, mengatakan, munculnya grup ataupun situs web yang mewacanakan pasangan Mahfud MD-Sri Mulyani pada kontestasi politik 2014 adalah hal wajar. Menurut dia, saat ini ada kecenderungan masyarakat bosan dengan "muka-muka" lama di panggung politik Tanah Air. Pewacanaan keduanya, dinilai Yunarto, merupakan antitesa atas ketidakpuasan terhadap para tokoh politik saat ini.

"Secara makro kita bisa melihat ada kecenderungan masyarakat kita merasa panggung politik dikuasai orang yang itu-itu saja. Pada pemilihan presiden tahun 2009 kan orang lama semua. Bisa jadi wacana (Mahfud-SMI) ini merupakan antitesa terhadap tokoh-tokoh yang ada sehingga ada keinginan memunculkan tokoh baru," kata Yunarto saat dihubungi Kompas.com, Selasa (24/5/2011).

Akan tetapi, ia juga melihat, dimunculkannya figur-figur alternatif sering kali didasari oleh momen-momen tertentu yang lebih kental nuansa emosional. Wacana "Sri Mulyani for President 2014" muncul pascakasus Bank Century. "Mahfud mengemuka ketika kasus Anggodo dan Nazaruddin. Masyarakat melihat ada sosok yang tegas dan berani, antitesa dari sosok SBY. Harus diingat, masyarakat kita sering terjebak dalam memori kolektif yang pendek dan dikelola secara emosional," ujarnya.

Oleh karena itu, Yunarto mengingatkan, jika para penggagas Mahfud-SMI tidak mempersiapkan secara matang, wacana memasangkan Ketua Mahkamah Konstitusi dan mantan Menteri Keuangan itu akan sekadar wacana saja. Apalagi, secara basis politik keduanya tak memiliki pijakan partai politik. "Kalau serius, dirancang secara matang, disiapkan kendaraan politiknya. Sebenarnya bukan tidak mungkin. SBY melakukannya pada 2004. Minimal ada kekuatan politik yang menjadi wadah dukungan bagi mereka yang ingin memberikan dukungan secara politik. Kalau hanya wacana yang dilempar secara sporadis, akan sulit menjaga dukungan sampai 2014," papar Yunarto.

Seperti diberitakan sebelumnya, sebuah grup di jejaring sosial Facebook memasangkan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD dan mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebagai calon presiden 2014-2019. Grup itu menamakan diri "Mahfud MD-Sri Mulyani for President 2014-2019". Tak jelas kapan grup ini dibentuk. Yang jelas, hingga Selasa (24/5/2011) pukul 10.00, sebanyak 193 orang sudah memberikan "jempol" alias "like" untuk bergabung di grup ini.

Dalam penjelasan tentang grup ini tertulis, "Grup ini didedikasikan utk dua tokoh berintegritas kita: Prof Dr Mahfud MD & Dr Sri Mulyani Indrawati agar bersedia maju sebagai Presiden RI pada Pilpres 2014. Mari dukung dua tokoh ini utk memimpin negeri ini lepas dr keterpurukan & korupsi".

Siapa yang akan dicalonkan sebagai capres dan cawapres? Ini jawaban pengelola akun grup ini, "Mengingat mrk semua adl orang2 berintegritas & sdg memegang jabatan penting, maka kita tdk akan mudah mendengar pernyataan 'mau dicalonkan' pada saat ini. Akan tetapi, sbg patriot2 sejati, mrk tdk akan menolak jika rakyat menghendaki & ada kendaraan politik utk itu. Soal mau dipasangkan atau tidak, itu soal nanti. Namun pewacanaan tak kalah pentingnya utk menciptakan dukungan masyarakat. Salam", dikutip dari posting jawaban atas pertanyaan seorang pengguna pada 9 Mei 2011.

Selain di Facebook, gagasan memasangkan kedua tokoh ini juga disuarakan melalui blog www.mahfudsrimulyani.wordpress.com. Blog ini berisi berita-berita dari sejumlah media massa yang memuat tentang Mahfud dan Sri Mulyani.